Selasa, 02 April 2013

Pelangi dalam Bahteraku


Karya: Bediar

Ketika alam bersajak, dedaunan bertiup mengalunkan indahnya harapan, rerumputan bergoyang menarikan kebahagiaan, gemercik air turut berseru mengisyaratkan keindahan. Langitpun tahu tentang perasaanku, warnanya membiru dan memutih memancarkan pesonanya, senyum mentaripun menemaniku hingga berlalu menuju peraduannya. Alam benar-benar mengerti akan aura ini.
                                                                                
Pagi ini ia datang bersama janjinya, menemuiku yang tengah termangu merasakan getar yang semakin mendebar. Langkahnya diiringi suara merdu grup Nasyid membuatku semakin berdebar, terlihat dari kaca kamarku ia merona dengan langkah pasti menapaki setiap detail jalan disana.
***
            Seindah malam tatkala bintang bertaburan disana, menjadi titik yang menggambarkan lukisan indah di cakrawala. Seindah senja tatkala langit mulai memerah, menjauh meninggalkan terik yang memanggang bumi seharian. Dan seindah pelangi tatkala rinai mulai menghilang, meninggalkan mendung yang menjadi kabut penghalang.

            Aku melukis indahmu dalam kalbuku, meletakkannya di relung terdalam hingga sulit untuk menghilang. Aku mencintaimu seperti malam mencintai bintang primadonanya, seperti senja yang setia menuju peraduannya dan menyerupai pelangi yang menghapus rinainya. Aku mencintaimu meski bumi retak oleh panas matahari, meski badai meluluhlantahkan alam ini dan meski air menggenangi hamparan ini, menemanimu dalam keadaan lara sekalipun.

***
            “Tiara, ayo nak, pendampingmu sudah menunggu” tutur ibuku dengan nada yang begitu sendu.
            Aku bangkit dari dudukku untuk kemudian melangkah bersamaan dengan langkah ibuku, menyelinap keluar hingga menjadi pusat perhatian disana.
Aku masih menunduk, menyembunyikan aura kebahagiaanku, namun aku berusaha mengangkat daguku tatkala aku tepat berada di samping calon suamiku. Aku masih menggunakan burqahku waktu itu, itulah pernikahan dengan perkenalan yang tidak begitu lama hingga lelaki tampan itu mau menikahiku dan siap menerima aura dibalik burqahku ini. Aku tersenyum hingga mataku berkaca mengiringi alunan janji yang membahana disana.

Sudara Syamsul Alif Al-Hafidz bin Muhammad Ridwan, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan puteriku Tiara Pramesti Senja binti Syaiful Umar dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan seribu Al-qur’an dibayar tuunai!

Saya terima nikahnya Tiara Pramesti Senja binti Syaiful Umar dengan mas kawin tersebut dibayar tunai

Kemantapan suaranya membuatku bergetar untuk kemudian air mata semakin deras mengalir beralur dirautku dan diraut orang-orang disana.

Hari ini aku telah bersuami, aku menemukan tambatan hati yang selama ini kudambakan. Tinggallah bagaimana kami mengarungi bahtera ini, berharap menjadi keluarga sakinah, mawadah dan warohmah.
***
Malam hari tatakala alam benar-benar bersahabat, ketika kami usai melaksanakan sholat isya dan sunah, aku mulai membuka burqahku agar suamiku tahu kesederhanaanku.
Namun aku merasakan sakit diperutku hingga membuatku tak sadarkan diri, aku terbangun dengan burqah yang terlepas dari wajahku, kutatap wajah suamiku yang samar-samar menyapa pandanganku. Rautnya terlihat berbeda, hingga rona itu terbaca sesal di mataku. Hari ini kuhabiskan waktuku di tempat tidur, ditemani suami tercinta yang terlihat berbeda dari sebelumnya.

Dua hari setelah itu, setelah aku benar-benar sehat, aku berharap malam ini adalah malam pernikahanku yang sesungguhnya, menjadi seorang isteri seutuhnya hingga aku mengandung dan memberikan keturunan untuknya. Namun dia tidak melakukan hal itu, ia hanya mencium keningku untuk kemudian terlelap, aku terdiam bertatap nanar padanya, pikiranku sempat di hantui rasa curiga, apakah dia tidak ingin bersetubuh denganku karena wajahku yang cacat, dia malu atau bahkan jijik melakukannya. Kedua belah pipiku dipenuhi luka bakar karena sebuah kecelakaan dulu, dan pada saat kami menikah dia memang belum melihat wajahku seutuhnya, dan di malam itulah dia benar-benar menyaksikan kesederhanaanku.

Selepas fajar ia pergi ke kantor dan ketika senja menjelang ia tak banyak melakukan suatu hal padaku, hanya mencium keningku untuk kemudian terlelap, setiap hari hampir satu bulan ia menyisa batinku seperti ini, membiarkanku bertanya-tanya akan hal itu.

            “sikapmu menyakitiku mas! Apa maumu? ceraikan aku!” aku bangkit dan menatapnya lekat, dengan amarah yang menderu aku berusaha menahan luapan itu.
            “kamu tahu perkataanmu dapat menggunjang Arsh!” sahutnya dengan nada menekan.
            “ini kan yang kamu inginkan? Kamu menyesal punya istri cacat sepertiku? Jawab mas!” aku menghampirinya lebih dekat lagi hingga matanya beradu dengan amarahku.
            “diam!” katanya.
            “kamu nggak ngerti!” sahutnya lagi.
            “ngerti apa mas?” ucapku.

Air mata benar-benar menjadi tokoh utama saat itu, menemaniku yang tengah diselimuti kehancuran. Emosiku meluap hingga membuatku terjatuh dan tak sadarkan diri dan ketika terbangun aku sudah terbaring disebuah rumah sakit islam di kotaku, disana terlihat kedua orang tuaku, mertuaku dan suamiku. Aku memalingkan wajahku, enggan untuk menatapnya, membiarkannya merasakan getir seperti apa yang kurasakan.
           
“Tiara, maafkan aku, aku tidak bermaksud untuk menyiksa batinmu, aku menyesal karena menyembunyikan hal ini padamu” ucapnya padaku.
***
Aku ingin intuisilah yang mengobati penyesalanmu, bukan karena iba yang menjadi prioritas itu. Aku tak ingin jika ilusi selalu membayangiku, biarlah masygul menemaniku hingga aku benar-benar yakin bahwa intuisilah tokoh utamanya.
***
            “apa yang kamu sembunyikan dariku?” ucapku tanpa menatapnya.

Orang tua dan mertuaku berlalu meninggalkan ruangan itu, membiarkanku menyelesaikan masalah itu dengannya.

            “aku tidak menyentuhmu bukan berarti aku tidak mencintaimu, aku seperti itu bukan untuk menyiksamu tapi untuk menyelamatkanmu, aku tidak peduli dengan wajahmu, rasa cintaku padamu mampu menghapus semua itu. Sebenarnya… sebenarnya kamu mengidap penyakit kanker rahim, malam pertama dihari pernikahan kita ketika aku akan menunaikan kewajibanku sebagai seorang suami, tiba-tiba kamu tak sadarkan diri setelah merasakan sakit yang teramat sangat diperutmu, setelah dokter memeriksamu ada dugaan bahwa kamu mengidap penyakit kanker rahim, dan hal itu terbukti setelah dokter mmbawa sampel darah yang ia ambil ketika kamu tak sadarkan diri waktu itu ke laboratorium. Aku terpukul, aku khawatir padamu jika aku memberitahukan hal itu, untuk itu aku hanya diam dan ketika malam menjelang aku hanya bisa mencium keningmu, itulah tanda cintaku padamu, dan kamu tahu aku menangis tatkala aku merebahkan tubuhku membelakangimu” ucapnya bergemuruh mengejutkanku.

Perlahan aku memalingkan wajahku, menatapnya yang tengah beruraian air mata, aku menangis dan sangat terpukul, ternyata dia benar-benar tulus mencintaiku, semua prasangkaku hanyalah jelmaan kesalahpahamanku sendiri.

Dia mendekatiku lalu memeluk erat tubuhku.
            “maafkan aku, aku hanya ingin menyelamatkanmu, kita hadapi masalah ini bersama, aku tidak akan membiarkanmu menderita sendiri, karena aku akan selalu disisimu, akan kita arungi bahtera ini bersama, meski tanpa keturunan sekalipun” ucapnya padaku.
Aku masih shock dan sangat terpukul, perlahan kubalas pelukan eratnya, merasakan keindahan bahtera diatas lautan musibah. Pelangi itu indah, tapi bentuknya tak seindah warnanya, bentuknya menggambarkan raut kesedihan seperti bibir melengkungkan garisnya, buah dari kesedihan itu sendiri. Dan inilah pelangi dalam bahteraku, begitu indah namun menyedihkan.

Beberapa bulan setelah itu, setelah aku menjalani operasi pengangkatan rahim, aku dan suamiku mengadopsi seorang balita cantik dari panti asuhan. Meski bukan darah daging kami sendiri, tapi balita cantik itu mampu mempercantik indahnya pelangi di bahtera rumah tangga kami, keindahan abadi yang mampu membuat aura kebahagiaan terpancar disini.

Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar