Karya: Bediar
Ketika
alam bersajak, dedaunan bertiup mengalunkan indahnya harapan, rerumputan
bergoyang menarikan kebahagiaan, gemercik air turut berseru mengisyaratkan
keindahan. Langitpun tahu tentang perasaanku, warnanya membiru dan memutih
memancarkan pesonanya, senyum mentaripun menemaniku hingga berlalu menuju
peraduannya. Alam benar-benar mengerti akan aura ini.
Pagi ini ia datang
bersama janjinya, menemuiku yang tengah termangu merasakan getar yang semakin
mendebar. Langkahnya diiringi suara merdu grup Nasyid membuatku semakin
berdebar, terlihat dari kaca kamarku ia merona dengan langkah pasti menapaki
setiap detail jalan disana.
***
Seindah malam tatkala bintang bertaburan disana, menjadi
titik yang menggambarkan lukisan indah di cakrawala. Seindah senja tatkala
langit mulai memerah, menjauh meninggalkan terik yang memanggang bumi seharian.
Dan seindah pelangi tatkala rinai mulai menghilang, meninggalkan mendung yang
menjadi kabut penghalang.
Aku melukis indahmu dalam kalbuku, meletakkannya di
relung terdalam hingga sulit untuk menghilang. Aku mencintaimu seperti malam
mencintai bintang primadonanya, seperti senja yang setia menuju peraduannya dan
menyerupai pelangi yang menghapus rinainya. Aku mencintaimu meski bumi retak
oleh panas matahari, meski badai meluluhlantahkan alam ini dan meski air
menggenangi hamparan ini, menemanimu dalam keadaan lara sekalipun.
***
“Tiara, ayo nak, pendampingmu sudah menunggu” tutur ibuku
dengan nada yang begitu sendu.
Aku bangkit dari dudukku untuk kemudian melangkah
bersamaan dengan langkah ibuku, menyelinap keluar hingga menjadi pusat
perhatian disana.
Aku masih menunduk,
menyembunyikan aura kebahagiaanku, namun aku berusaha mengangkat daguku tatkala
aku tepat berada di samping calon suamiku. Aku masih menggunakan burqahku waktu
itu, itulah pernikahan dengan perkenalan yang tidak begitu lama hingga lelaki
tampan itu mau menikahiku dan siap menerima aura dibalik burqahku ini. Aku
tersenyum hingga mataku berkaca mengiringi alunan janji yang membahana disana.
Sudara Syamsul Alif Al-Hafidz bin
Muhammad Ridwan, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan puteriku Tiara
Pramesti Senja binti Syaiful Umar dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan
seribu Al-qur’an dibayar tuunai!
Saya terima nikahnya Tiara Pramesti
Senja binti Syaiful Umar dengan mas kawin tersebut dibayar tunai
Kemantapan suaranya
membuatku bergetar untuk kemudian air mata semakin deras mengalir beralur
dirautku dan diraut orang-orang disana.
Hari ini aku telah
bersuami, aku menemukan tambatan hati yang selama ini kudambakan. Tinggallah
bagaimana kami mengarungi bahtera ini, berharap menjadi keluarga sakinah,
mawadah dan warohmah.
***
Malam hari tatakala
alam benar-benar bersahabat, ketika kami usai melaksanakan sholat isya dan
sunah, aku mulai membuka burqahku agar suamiku tahu kesederhanaanku.
Namun aku merasakan
sakit diperutku hingga membuatku tak sadarkan diri, aku terbangun dengan burqah
yang terlepas dari wajahku, kutatap wajah suamiku yang samar-samar menyapa
pandanganku. Rautnya terlihat berbeda, hingga rona itu terbaca sesal di mataku.
Hari ini kuhabiskan waktuku di tempat tidur, ditemani suami tercinta yang
terlihat berbeda dari sebelumnya.
Dua hari setelah itu,
setelah aku benar-benar sehat, aku berharap malam ini adalah malam pernikahanku
yang sesungguhnya, menjadi seorang isteri seutuhnya hingga aku mengandung dan
memberikan keturunan untuknya. Namun dia tidak melakukan hal itu, ia hanya
mencium keningku untuk kemudian terlelap, aku terdiam bertatap nanar padanya,
pikiranku sempat di hantui rasa curiga, apakah dia tidak ingin bersetubuh
denganku karena wajahku yang cacat, dia malu atau bahkan jijik melakukannya.
Kedua belah pipiku dipenuhi luka bakar karena sebuah kecelakaan dulu, dan pada
saat kami menikah dia memang belum melihat wajahku seutuhnya, dan di malam
itulah dia benar-benar menyaksikan kesederhanaanku.
Selepas fajar ia pergi
ke kantor dan ketika senja menjelang ia tak banyak melakukan suatu hal padaku, hanya
mencium keningku untuk kemudian terlelap, setiap hari hampir satu bulan ia
menyisa batinku seperti ini, membiarkanku bertanya-tanya akan hal itu.
“sikapmu menyakitiku mas! Apa maumu? ceraikan aku!” aku
bangkit dan menatapnya lekat, dengan amarah yang menderu aku berusaha menahan
luapan itu.
“kamu tahu perkataanmu dapat menggunjang Arsh!” sahutnya dengan
nada menekan.
“ini kan yang kamu inginkan? Kamu menyesal punya istri
cacat sepertiku? Jawab mas!” aku menghampirinya lebih dekat lagi hingga matanya
beradu dengan amarahku.
“diam!” katanya.
“kamu nggak ngerti!” sahutnya lagi.
“ngerti apa mas?” ucapku.
Air mata benar-benar
menjadi tokoh utama saat itu, menemaniku yang tengah diselimuti kehancuran.
Emosiku meluap hingga membuatku terjatuh dan tak sadarkan diri dan ketika
terbangun aku sudah terbaring disebuah rumah sakit islam di kotaku, disana
terlihat kedua orang tuaku, mertuaku dan suamiku. Aku memalingkan wajahku,
enggan untuk menatapnya, membiarkannya merasakan getir seperti apa yang
kurasakan.
“Tiara,
maafkan aku, aku tidak bermaksud untuk menyiksa batinmu, aku menyesal karena
menyembunyikan hal ini padamu” ucapnya padaku.
***
Aku ingin intuisilah
yang mengobati penyesalanmu, bukan karena iba yang menjadi prioritas itu. Aku
tak ingin jika ilusi selalu membayangiku, biarlah masygul menemaniku hingga aku
benar-benar yakin bahwa intuisilah tokoh utamanya.
***
“apa yang kamu sembunyikan dariku?” ucapku tanpa
menatapnya.
Orang tua dan mertuaku
berlalu meninggalkan ruangan itu, membiarkanku menyelesaikan masalah itu
dengannya.
“aku tidak menyentuhmu bukan berarti aku tidak
mencintaimu, aku seperti itu bukan untuk menyiksamu tapi untuk menyelamatkanmu,
aku tidak peduli dengan wajahmu, rasa cintaku padamu mampu menghapus semua itu.
Sebenarnya… sebenarnya kamu mengidap penyakit kanker rahim, malam pertama
dihari pernikahan kita ketika aku akan menunaikan kewajibanku sebagai seorang
suami, tiba-tiba kamu tak sadarkan diri setelah merasakan sakit yang teramat
sangat diperutmu, setelah dokter memeriksamu ada dugaan bahwa kamu mengidap
penyakit kanker rahim, dan hal itu terbukti setelah dokter mmbawa sampel darah
yang ia ambil ketika kamu tak sadarkan diri waktu itu ke laboratorium. Aku
terpukul, aku khawatir padamu jika aku memberitahukan hal itu, untuk itu aku
hanya diam dan ketika malam menjelang aku hanya bisa mencium keningmu, itulah
tanda cintaku padamu, dan kamu tahu aku menangis tatkala aku merebahkan tubuhku
membelakangimu” ucapnya bergemuruh mengejutkanku.
Perlahan aku
memalingkan wajahku, menatapnya yang tengah beruraian air mata, aku menangis
dan sangat terpukul, ternyata dia benar-benar tulus mencintaiku, semua
prasangkaku hanyalah jelmaan kesalahpahamanku sendiri.
Dia mendekatiku lalu
memeluk erat tubuhku.
“maafkan aku, aku hanya ingin menyelamatkanmu, kita
hadapi masalah ini bersama, aku tidak akan membiarkanmu menderita sendiri, karena
aku akan selalu disisimu, akan kita arungi bahtera ini bersama, meski tanpa
keturunan sekalipun” ucapnya padaku.
Aku masih shock dan sangat terpukul, perlahan
kubalas pelukan eratnya, merasakan keindahan bahtera diatas lautan musibah.
Pelangi itu indah, tapi bentuknya tak seindah warnanya, bentuknya menggambarkan
raut kesedihan seperti bibir melengkungkan garisnya, buah dari kesedihan itu
sendiri. Dan inilah pelangi dalam bahteraku, begitu indah namun menyedihkan.
Beberapa bulan setelah
itu, setelah aku menjalani operasi pengangkatan rahim, aku dan suamiku
mengadopsi seorang balita cantik dari panti asuhan. Meski bukan darah daging
kami sendiri, tapi balita cantik itu mampu mempercantik indahnya pelangi di
bahtera rumah tangga kami, keindahan abadi yang mampu membuat aura kebahagiaan
terpancar disini.
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar