Selasa, 02 April 2013

Kyushu


Kareshi No Tame No Rakuen
 Karya: Bediar
Rinai rindu yang mengusikku sejak dua hari yang lalu membuatku mengingat memoar itu, aku terdiam beberapa saat hingga rasa ini benar-benar merindu, bersanding kegamangan yang juga mengusikku, aku berusaha menghapus nanar dalam pikiranku, menghapusnya hingga kini hanyalah rindu yang menghiasi relungku.
***
Aku tahu tentang kebencian itu, aku mengerti akan kemarahanmu, mungkin hina ini adalah bayanganku dihadapanmu, mengikis rasa yang dulu begitu besar untukku, melukis noktah dalam sucinya hatimu, namun aku masih sangat berharap bahwa semua itu hanyalah jelmaan kesalahpahamanmu.

Jalinan kasih yang kita ukir bersama, mengisyaratkan pertalian yang seharusnya mampu mengikat rasa ini lebih erat. Indahnya kisah kita dulu tak akan mungkin enyah begitu saja dari ingatanku, berpayung langit biru serta ditemani sakura yang mulai menguning dan memerah  kita berpagut dalam kebahagiaan, mengalunkan cinta di tempat penuh pesona, tempat yang menjadi saksi indahnya kisah kita, tempat terindah yang bernama Kyushu.
***
            “kamu lagi mikirin apa Sat?” suara itu tiba-tiba membuyarkan lamunanku.
Aku bergegas pergi tanpa mempedulikannya.
            “Satria, jawab pertanyaanku!” ucapnya lagi sembari menarik lenganku.
Sekali lagi aku hanya berlalu tanpa memberi jawaban sedikitpun kepadanya.

Aku bergegas menuju gudang, kuambil sebuah kardus besar yang begitu lusuh, kubuka perlahan hingga kini aku benar-benar mengingat kejadian itu, kuambil sebuah album untuk kemudian bergegas menuju ruang kerja, aku duduk tepat di depan meja kerjaku, menyaksikan album kusam yang sejak dua bulan lalu di gudang. Kuusap perlahan album itu hingga kini terlihat jelas lukisan bunga sakura indah membingkai fotoku dan fotonya, perlahan kubuka album tersebut, senyuman manisnya menyapaku tatkala itu.
Aku benar-benar merindu, air matapun mengerti akan kerinduanku hingga butirnya jatuh membasahi pipiku, kubuka lembar demi lembar hingga ingatanku memproyeksikan masa-masa indahku bersamanya di Kyushu.

            Bruakkk
Sesuatu terjatuh hingga suaranya mengejutkanku, aku bergegas menghampiri sumber suara itu, ternyata suara itu datang dari dalam dapur, ruangan yang letaknya tidak begitu jauh dari gudang.
           
            “apa yang kamu lakukan?!” ucapku kepada seorang wanita yang tengah duduk di depan lemari perkakas dapur sembari menggenggam pisau.
            “apa pedulimu! Jemput saja wanitamu itu!” tuturnya.
            “kamu istriku!” sahutku.
            “baru sekarang kamu bilang aku istrimu! Kemana saja kau selama ini! Kamu anggap apa aku ini! Kita menikah tapi tidak pernah satu ranjang, kamu melarangku untuk memanggilmu sayang! Sudahlah Sat, kamu pergi saja dan jemput wanitamu itu!” jawabnya sembari mengacungkan pisau kearahku.
            “baiklah, aku akan pergi!” jawabku singkat sembari berlalu meninggalkannya.

Terdengar suara pisau yang terlempar ke lantai
            “syukurlah dia tidak bunuh diri” batinku sembari meliriknya.
***
Dia Karin, wanita yang kunikahi satu setengah bulan lalu karena keterpaksaan, dia wanita yang baru aku kenal dihari itu, dia mengaku hamil dan memintaku untuk bertanggungjawab. Aku dijebak, malam itu aku benar-benar tak sadarkan diri dan ketika terbangun dialah yang ada disampingku, dan sejak kejadian itu aku tidak pernah bertemu lagi dengan Maya, wanita yang kurindu selama ini. Mungkin dia tahu tentang peristiwa itu sehingga dia pergi meninggalkanku tanpa memberi sedikitpun celah kepadaku untuk menjelaskan semuanya.
***
Selaras senja yang mulai menyapa, sebening embun yang menghias dedaunan dan seramah mentari yang tersenyum begitu anggun, aku melangkah menjemput rinduku, bersama hati yang begitu merindu aku bergegas menuju bandara untuk kemudian pergi menjemput kekasihku di Kyushu.

Aku dan Maya sudah menjalin hubungan selama satu tahun, kami berdua sama-sama pecinta Jepang, disaat ulang tahunnya yang ke dua puluh tiga, aku mengajaknya untuk pergi ke salah satu pulau terbesar di Jepang, dan pilihanku jatuh ke Pulau Kyushu, itulah surga yang kupersembahkan untuknya, Kareshi No Tame No Rakuen. Disanalah kenangan terakhirku bersama Maya, berjuta cerita bertaburan disana.
Aku mengajaknya ke Fukuoka, kota surganya makanan, surga bagi orang-orang yang berhobi belanja. Menjelajah sejarah Jepang di Kumamoto Castle dan Kuil Dazaifu Tenmangu. Bersenang-senang di festival Hakata Yamakasa, hingga kami berjanji untuk setia sampai maut memisahkan kami dihadapan matahari terbenam di pantai Kujuku. Meskipun kami belum menikmati indahnya sakura yang berguguran saat itu namun rencananya dua puluh tiga September ini kami akan pergi ke Kyushu lagi untuk menyaksikan indahnya Aki no yuu hi ni di pantai Kujuku serta menikmati kouyou atau daun yang memerah dan menguning hingga sakura berguguran menghujani ranah Jepang. Tetapi semua itu pupus sejak kejadian di malam itu. Aku masih bingung mengapa semua berlalu begitu cepat, kenangan manis itu terkikis oleh satu malam yang benar-benar membuatku terenyuh.
***
Seindah sakura yang menghujani ranah Jepang di musim gugur, aku sok piawai mengalunkan gita dihadapanmu, menjadi penghibur dikala lara menghampirimu, melukis senyum tatkala sendu mendekapmu.
Namun, kini aku bermukim dalam lakon yang tak beralur, menyaksikan kehancuran diriku sendiri, merasakan getirnya rasa yang membayangiku, hingga aku hanya seperti mayat hidup yang beristri tapi tak merasakan sedikitpun akan hal itu.
***
Hari ini aku benar-benar bahagia, rinduku akan terobati, aku akan bertemu dengan Maya, melihat senyumnya yang manis, parasnya yang cantik, tuturnya yang lemah lembut dengan rambut indah yang terurai sempurna.

Hari ini aku tiba di Kyushu, ingatanku semakin jelas memproyeksikan kejadian dua bulan lalu. Perlahan langkahku menapaki setiap detail jalan disana. Musim gugur masih menjadi primadona saat itu, bunga sakura yang menghiasi sepanjang jalan membuatku semakin merindu, rinai ini semakin deras menghanyutkanku, aku terdiam dan langkahku terhenti tatkala aku melihat sepasang kekasih bergurau mesra dipuncak kebahagiaan mereka. Hatiku semakin meronta, senyuman sempat menghiasi rautku namun kemudian butiran itu jatuh membasahi pipiku.

Inilah Kareshi No Tame No Rakuen!

Aku kembali melanjutkan langkahku, menyambangi rumah sederhana yang kami sewa dua bulan lalu. Disana aku bertemu pemandu asal Indonesia yang setia menceritakan seisi Kyushu kepada kami, namanya pak Rizky, dia sengaja kami sewa hanya untuk memandu kami berdua oleh karena itu kami begitu akrab.
           
            “masih ingat saya pak?” tanyaku basa-basi sembari melontar senyum kepadanya.
            “emmm, Satria?” jawabnya sembari membalas senyumku.
            “iya pak” sahutku dengan nada yang lirih.
            “liburan lagi? Masih betah di Kyushu?” tanyanya dengan sentuhan canda.
            “hemmmm, apa kabar pak?” tanyaku tanpa memberi jawaban kepadanya.

Sebenarnya aku sudah tidak sabar lagi untuk bertemu Maya dan ingin segera menanyakannya kepada pak Rizky, namun aku harus menahan semua itu karena aku tidak ingin beliau mengetahui masalahku, aku hanya ingin memastikan apakah Maya pernah kesini setelah kejadian itu.

            “yaaa beginilah, selalu happy, hidup jangan dibuat beban” jawabnya.
            “ah bapak bisa saja! O.iya pak, saya boleh tanya sesuatu nggak?”
            “Tanya apa? Dari nada bicaramu sepertinya sangat penting”
            “apakah Maya pernah kesini dua bulan terakhir ini?”
            “setahu bapak si nggak, terakhir kesini ya sama kamu itu, memang ada apa Sat? kalian ada masalah?”
            “O.nggak pak, nggak pa-pa, nggak ada masalah kok, cuma ingin tahu saja” jawabku terbata.
            “ya sudah pak, saya langsung pergi saja” sahutku lagi.

Aku berlalu meninggalkan pak Rizky yang bertatap nanar mendengar jawabanku tadi, aku yakin beliau menangkap gelagat masalah diantara kami, aku hanya tersenyum untuk kemudian pergi menuju tempat-tempat yang pernah kami singgahi, namun niatku urung karena hari mulai gelap dan hari ini berakhir diperaduanku pada rumah sewa kami dulu.

Langkahku semakin memburu seiring dengan rindu yang semakin menggebu, tiada harmoni yang mengubahku kecuali rindu yang berseru, meski dengan bidar kuberlayar pasti kekacauanlah yang akan kuraih, kini cinta mulai meracuniku setelah lama mencumbuiku, aku hanya terdiam menyikapi disparitas rasa yang melontarkan tanda tanya, satu sisi aku begitu merindu namun disisi lain kegamangan tetap menghantuiku.
***
Kumamoto Castle dan Kuil Dazaifu Tenmangu telah kusinggahi, mencari jejaknya yang tak kutemui, hingga peluh membanjiri ragaku bersama air mata yang terus menderu, akhirnya kuputuskan untuk segera menuju tempat yang kami janjikan sebelum petang menyapa.

Sore ini aku menuju pantai Kojuku, menunggu hingga petang menghampiriku, menyaksikan indahnya Aki no yuu hi ni, merasakan sentuhan sakura yang menggugurkan kemerahannya, bermandi sunyi tanpa kehadirannya, inilah hari dimana seharusnya aku menghabiskan waktu bersamanya, hari yang kini justru menjadi hampa tanpanya.
Aku duduk merangkul kedua lututku sembari menatap mentari yang mulai menuju perindukannya.
            “huft,..”
 Bersama ombak yang menghempas jemari kakiku aku berusaha menahan kerinduanku, desirnya seakan bertanya apakah rindu masih bersemayam di hatiku.


            “Sat,..?” suara merdu menyapaku.
Aku memalingkan wajahku, perlahan dengan hati yang memburu kutatap bias dalam pelupuknya.
            “kamu!” ucapku.
Aku bangkit untuk kemudian berlalu meninggalkannya.
            “Sat, maafin aku, kamu harus tahu semua kebenarannya!”
Katanya sembari mengejarku.
            “udahlah rin, kamu tahu aku nggak suka sama kamu, apalagi cinta! Jangan ganggu aku! Akan segera ku kirim surat cerai untukmu!” ucapku pada istriku, Karin.
            “tidak bisakah kita bicarakan dulu?”
            “tidak”
            “dengarkan penjelasanku dulu”
            “sudahlah”
            “tapi ini tentang Maya!”
Aku terkejut tatkala Karin menyebut nama Maya, dari mana dia tahu namanya sedangkan yang dia tahu hanyalah foto yang masih tersimpan di dompetku, darimana juga dia tahu aku pergi ke tempat ini sedangkan dulu kami hanya bertemu di rumah yang kusinggahi kemarin.

            “kamu tahu apa tentang Maya? Darimana juga kamu tahu tempat ini?”
Ucapku sembari menatap lekat matanya.
            “ini yang ingin aku jelaskan padamu” sahutnya sembari meraih jemariku.
            “sudahlah, apa yang ingin kamu jelaskan? jangan banyak basa-basi” kataku melepas genggamannya.
            “baiklah”
            “Sat, perlu kamu ketahui, aku dan Maya adalah sahabat, kami berteman sejak kami di Sekolah Dasar, kami berpisah tatkala kami memutuskan untuk kuliah ditempat yang berbeda, dan rencananya kami akan bertemu di tempat ini, tempat yang memang menjadi impian kami sejak dulu. Mulanya dia ingin memperkenalkanmu padaku, dia banyak bercerita tentangmu, dan mungkin dia juga sudah menceritakan tentang aku padamu, dan sebelum malam itu terjadi, aku bertemu dengannya atas undangannya tanpa memberitahumu, dia mengidap penyakit kanker paru-paru stadium akhir, sebenarnya dia ingin menyatukan kita berdua dan ingin memberitahumu tentang penyakit yang selama ini dia sembunyikan darimu, namun sebelum keinginannya itu terwujud dia sudah harus kehilangan waktu, untuk itu dia yang merencanakan kejadian malam itu, dia yang memasukan obat tidur keminumanmu dan dia pula yang menyuruhku berbaring disampingmu, agar semua terkesan kamu yang telah menghamiliku, aku tahu kamu kecewa dan sangat marah, aku juga demikian, tapi aku begitu sayang padanya dan itulah permintaan terakhirnya padaku, aku tidak ingin melihatnya sedih saat itu, setelah ini kamu juga bisa menceraikanku karena malam itu kita tidak berhubungan sedikitpun. Dan ini ada surat dari Maya sekaligus aku merekam semua pembicaraanku dengannya karena aku tahu akhirnya akan seperti ini” ucapnya menjelaskan sembari menyodorkan surat dan tape recorder padaku.

Setelah itu dia ia juga memberikan semua kenangannya bersama Maya, album foto mereka sejak kecil, baju-baju dan barang yang sering Maya kenakan. Mulanya aku tidak percaya namun setelah melihat semua bukti akhirnya aku hanya terduduk tak berdaya.

Aku terkejut, di surat yang Maya berikan padaku tertulis

            “cintai Karin seperti kamu mencintaiku, jagalah dia seperti kamu menjagaku”

Hatiku merintih, air mata begitu deras mengalir di rautku. Itulah pesan terakhirnya, namun aku masih belum bisa menerima kenyataan ini, aku berteriak dan meluapkan kekesalanku pada malam, satu jam lebih aku meraung tak beraturan, meremas pasir pantai untuk kemudian aku bangkit dan menghampiri Karin, kutatap wajahnya, matanya sama seperti mata Maya, mereka sekilas mirip, kutatap lebih lekat lagi wajahnya lalu kupeluk tubuhnya.
            “maafkan aku! Aku akan menuruti permintaan terakhirnya”

Inilah akhir kisahku di Kyushu, surga yang kupersembahkan untuk kekasihku, kekasih yang dulu dan sekarang, dialah kekasih dan isteriku.

Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar