Selasa, 02 April 2013

Lukisan untuk Kakak


Karya: Bediar

02 November 2012
            BRUAKKK!
            “Arrrrgghhhhh”
Seseorang terkejut, mimpi indah di tidur siangnya berubah menjadi mimpi buruk yang tiba-tiba membangunkannya. Dengan sigap ia berlari menuju sumber suara – kamar yang tak jauh dari kamarnya – tempat yang langsung memenuhi pikirannya saat ia mendengar suara gaduh dan jeritan itu, pasalnya dua
jam yang lalu ia juga mendengar suara yang sama seperti apa yang ia dengar barusan. Ditemukannya seseorang terduduk disudut kamar dengan kepala yang tertunduk, Ia hampiri dan direngkuhnya tubuh gadis 11 tahun itu untuk segera memeluknya.
            “Tenanglah, ada kakak disini”
            “Pergi!” hentaknya mendorong pemuda 18 tahun itu. Ia terhempas dan gadis itu beringsut menjauhinya. Kaki lunglai gadis itu terseret mengikuti gerakan tubuhnya.
Pemuda itu kembali mendekatinya, dan kini berada dihadapannya, Ia genggam kedua pundak adiknya untuk kemudian diangkatnya perlahan dagu milik adiknya itu.
            “Hey, kenapa lagi? Lihat kakak” pemuda itu tersenyum.
            “Kak Dicky nggak ngerti” gadis itu kembali menundukkan wajahnya, matanya membengkak dan rautnya begitu sendu.
            “Kakak ngerti dek, kamu tahu, kamu itu istimewa” ucap Dicky - kakaknya dengan nada sedikit menekan, ia beralih duduk disamping adiknya dan kembali merangkulnya.
            “itu yang selalu kakak katakan padaku, aku bosan kak, aku malu dengan keadaanku yang seperti ini, Ibu meninggal karena aku, Ayah pergi juga karena aku, aku ini tidak berguna kak!” ucap gadis itu mengerang dan memukul-mukul kedua kaki lunglainya.
            “hey.hey, kakak marah kalau sikapmu seperti ini” ucap Dicky tegas sembari meraih tangan adiknya dan menghentikan aktivitasnya. Gadis itu terisak dan dengan segera Dicky mendekap erat tubuhnya.
            “Ibu meninggal bukan karena kamu, Putri” Dicky mengatur nafas sejenak lalu melanjutkan ucapannya.
“Ibu meninggal karena ketika melahirkanmu ibu mengalami pendarahan. Sedangkan Ayah,…” ucapannya terhenti,  diusapnya lembut rambut hitam bergelombang milik adiknya itu. Terbesit dibenaknya bagaimana ketika mereka bersama dulu – Dicky, Ayah dan Ibunya serta Putri yang masih dalam kandungan, kebahagiaan itu serasa menjadi teman dekatnya, menemaninya disetiap detail aktivitasnya hingga sesuatu datang dan menghancurkan semuanya, sesuatu yang membuat Ibunya tertekan ketika umur kandungannya delapan bulan – Ayahnya berselingkuh dengan alasan yang Dicky pun tak mengerti dan itu membuat ibunya depresi, kondisi kejiwaannya cukup membuatnya tersiksa hingga Ia mengalami pendarahan dan pergi untuk selamanya, sedangkan Ayahnya pergi entah kemana, meninggalkan dan membiarkan mereka hidup bersama Bik Yem – pembantu yang sudah belasan tahun mendiami rumah megah itu, terlebih setelah mengetahui anaknya terlahir cacat. Sebenarnya bisa saja Putri menggunakan kaki palsu, namun Putri menolak, pasalnya dulu ia pernah menggunakannya dan dijuluki manusia robot oleh teman-teman sebayanya, hingga, kini ia enggan menggunakannya lagi dan lebih memilih kursi roda dan home schooling daripada sekolah normal atau sekolah luar biasa.
            “Kak” suara lirih Putri membuyarkan lamunannya, jemari istimewa adiknya itu menyeka air matanya yang tak ia rasakan kapan kehadirannya.
            “Kakak jangan nangis”
Dicky tersenyum dan  dibalas senyuman manis oleh adiknya.
            “Sudahlah, jangan mengingat-ingat tentang Ayah lagi, bukankah kita berjanji untuk tidak membicarakannya?” Dicky meraih tangan adiknya dan tersenyum, lalu diikuti dengan anggukan gadis 11 tahun itu, senyuman-senyuman kecil hingga tawa lepas mencairkan suasana saat itu.
***
Sabtu pagi, 03 November 2012
“Dasar anak cacat, tidak berguna!”
Vas bunga terjatuh kelantai setelah seseorang menghempasnya kesal, vas yang sebelumnya indah dengan bunga diatasnya dan terletak dimeja kecil ruang tengah rumah mewah itu kini berserakan. Disebelahnya terpampang kaca cukup besar dengan ukiran kayu artistic dipinggirannya, pantulan wajah seseorang di cermin itu terlihat begitu kesal dan penuh sesal, ia memaki-maki tidak karuan kearah cermin, ya, ia memaki dirinya sendiri. Seorang pemuda dengan langkah pasti datang untuk memastikan bahwa tidak terjadi apa-apa disana, disaksikannya mulut gadis 11 tahun itu bergumam – memaki dirinya sendiri tanpa henti. Pemuda itu mempercepat langkahnya, mengetahui seseorang datang, gadis itu memutar roda dikursinya dan segera pergi. Pemuda itu diam sejenak dan segera merapikan serpihan kaca yang sedikit berserakan untuk kemudian berlalu menuju pintu utama rumahnya, dengan baju tanpa lengan serta celana selutut yang ia kenakan ia pergi dengan sepeda motor miliknya, dihalaman rumah terlihat dua orang pemuda yang sebaya dengannya yang juga pergi ketempat yang sama dengan yang ingin Dicky sambangi – Fitness Center

Empat puluh lima menit berselang, suara gaduh kembali memenuhi sebuah kamar di rumah mewah itu, terdengar teriakan-teriakan kecil yang seketika mengundang seseorang untuk menghampirinya.
            “Non, Non Putri kenapa? Jangan begitu Non, hentikan” cegah Bik Yem – pembantu yang sudah belasan tahun bekerja disana.
            “biarin Bik, lepasin!” gadis itu menghentak-hentakan tangannya yang tengah dipegang Bik Yem.
Penggaris besi sepanjang 30 centi meter terjatuh dan suaranya berdenting dilantai. Bik Yem segera mengamankan penggaris itu yang sebelumnya digunakan Putri untuk memukul-mukul kedua kaki lunglainya dan kembali dengan Putri yang masih saja brutal.
            “Aaarrrrghhhh, Tuhan! Bunuh saja aku! Ambil saja nyawakuuu!” teriaknya hingga kursi rodanya bergerak-gerak.
            “Aku tidak bergunaaaa” ucapnya kemudian dengan nada memilu, ia memukul-mukul kepalanya lalu ia tertunduk dan terisak.
Bik Yem yang hanya menangis menyaksikan Putri duduk lesehan disamping Putri sembari merapatkan tubuhnya ke kursi roda disampingnya.
            “sudah Non” ucap Bik Yem kemudian.
            “semua malu dengan keadaanku Bik, bahkan kak Dicky pun malu”
            “Tidak Non, Den Dicky begitu menyayangi Non”
            “Bohong!” Gadis itu segera memutar roda di kursinya dan berlalu meninggalkan Bik Yem yang duduk dilantai kamarnya.
***
Fitness Center,
Seorang pemuda mengenakan headset tengah bediri di alat treadmill yang dibuat santai mengikuti alunan musik dari i-podnya, sesekali ia terlihat mengelap keringat diwajahnya dengan handuk dilehernya. Pakaian pemuda 18 tahun itu basah dan lengannya sedikit mengkilat akibat butiran-butiran keringat disekujur tubuhnya. Ia berhenti dan mengambil duduk ternyaman disalah satu bangku panjang tak jauh dari tempatnya semula, diraihnya sebotol air mineral yang tergeletak diatas tas ranselnya untuk kemudian menenggaknya.
            “Masih betah aja Loe tinggal sama adik tiri Loe yang cacat itu?” seorang pemuda datang dan duduk disamping Dicky.
            “Maksud Loe apa?” Dicky sedikit tersendak dan segera menghentikan minumnya, ia terlihat tidak bersahabat.
            “Santai Bro, Loe kan populer di sekolah, Loe nggak malu anak-anak di sekolah ngomongin Loe?” ucapnya dengan tatapan sedikit mengejek.
Dicky terdiam, Ia yang memang seorang ketua OSIS sekaligus kapten Base Ball diskolahnya memang sering menjadi topik utama disetiap pembicaraan siswa-siswi disana.
            “Terus maksud Loe gue harus gimana?” ucap Dicky sedikit santai.
            “Tenang Bro, gue tadi udah ngomong ke adik Loe kalau Loe malu punya adik tiri cacat kayak dia, so abis ini Loe bisa bebas tanpa gangguan anak cacat itu”
Raut Dicky memerah, ia tersentak dan bangkit dari duduknya.
            “Anjrit Loe!” Dicky meremas dan membanting botol air mineral digenggamannya.
            “tadi Loe yang tanya Loe harus gimana, gue udah kasih jalan buat Loe”
            “tapi bukan gini caranya! Loe tahu! dia itu perempuan! Dia perasa! Dan dia nggak pantes dapet omongan kayak gitu!” Dicky sangat marah, ia maki temannya itu hingga semua pasang mata tertuju kearah mereka berdua.
            “ini demi kebaikan Loe Bro!” pemuda itu bangkit dan berhadapan dengan Dicky.
            “Aih, diem Loe bangsat” ucapan Dicky mengiringi kepalan tangannya menghantam pipi kiri pemuda dihadapannya. Pemuda itu terkulai dan bangkit dengan hantaman yang sama, perkelahian terjadi, beberapa orang mencoba melerainya sedangkan sisanya asik bersorak-sorai bak menyemangati dua pegulat yang tengah bertarung.
***
Danau kecil di belakang rumah,
            Seorang gadis menangis tersedu diatas sebuah kursi dengan roda dikanan kirinya.
            Hey anak cacat! sebenarnya kakakmu itu malu punya adik tiri cacat sepertimu!
Kata-kata yang ia dengar pagi tadi masih memenuhi pikirannya.
            “Apa itu benar kak?” Ucap gadis itu lirih dengan suara yang tersendat oleh tangisnya.
Dari arah belakang, Dicky berjalan perlahan mendekati gadis itu, ditangannya terlihat selembar kertas full colour dengan satu lembar kertas bernuansa hitam putih dibelakangnya.
            “Putri cantiik, lihat apa yang kak Dicky bawa” ucap Dicky menghibur.
Gadis itu hanya diam, masih terdengar jelas isak tangisnya.
            “Kakak malu kan punya adik sepertiku? Atau karena aku ini hanya adik tirimu?”
Dicky menghela nafas, rautnya berubah menjadi lebih serius sekarang. Ia berlutut disamping kursi roda adiknya.
            “Percayalah, rasa sayang itu tulus dari kakak, meski kita berbeda Ayah, kita ini terlahir dari rahim yang sama dek, kamu ngerti kan? Sudah, jangan dengarkan omongan-omongan orang, yang terpenting sekarang kan kakak sayang sama kamu, Bik Yem juga, kamu nggak akan sendirian”
Putri menoleh kearah kakaknya, dilihatnya raut kakaknya yang lebam akibat perkelahian tadi, Dicky menjelaskan semuanya, Putri mengerti dan sesekali Dicky mengeluarkan candaan-candaan yang membuat Putri tertawa kecil, sekali lagi Dicky berhasil mencairkan kebekuan hati Putri.
            “Dek, kakak bawa brosur lomba melukis untuk kamu, ada formulirnya juga nih”
Putri terdiam, raut cerianya berubah menjadi sendu, ia merasa sebagai anak yang tidak pantas untuk mengikuti perlombaan semacam itu. Sekarang Putri memang sedikit lega karena kakak tirinya ternyata menyayanginya dengan tulus, namun pikirannya masih bertarung dengan kenyataan bahwa dirinya terlahir cacat – kaki yang lumpuh dan jemari tangan yang hanya dua di masing-masing tangannya. Namun, Tuhan maha adil, Putri diberi keistimewaan di keempat jari istimewanya itu – ia sangat pandai melukis.
            “Aku cacat kak, aku tidak pantas mengikuti perlombaan semacam ini! aku hanya akan bikin malu nantinya” Putri memutar roda dikursinya dan bergeser menjauhi kakanya.
            “Dek, kamu itu istimewa, percayalah, tidak semua orang mampu melukis seindah lukisanmu, bahkan kakak saja tidak bisa” ucap Dicky meyakinkan.
            “Kamu tahu, siapa itu Nick Vujicic?” Dicky kembali mendektai Putri dan berlutut disampingnya, Putri menggeleng dan menatap penasaran kearah Dicky.
            “Dia sama sepertimu, dia orang yang istimewa, dia terlahir tanpa tangan dan kaki, dia juga pernah diejek teman-temannya dek, apa dia malu? Ya, dia malu bahkan dia pernah mencoba untuk bunuh diri, namun dia sadar bahwa Tuhan menciptakannya begitu istimewa, akhirnya dia selalu bersyukur atas apa yang ia punya, dan kini, dia telah berbicara kepada lebih dari tiga juta orang, di lebih dari 24 negara di lima benua, karena dia seorang motivator yang luar biasa”
Putri bergidik, cerita kakaknya itu menyentuh hatinya hingga matanya berkaca. Senyum mulai mengembang dari bibirnya.
            “Ada lagi, namanya Xu Yue Hua, seorang wanita yang harus kehilangan kakinya saat usianya 13 tahun karena kecelakaan, dia juga sangat istimewa, dia mampu mengurus lebih dari 130 anak, hal yang mustahil jika dibayangkan, namun itulah kenyataannya dek, dia mampu dan dia menjadi inspirasi untuk jutaan orang didunia, luar biasa bukan?”
Dicky tersenyum sembari mengusap rambut adiknya.
            “kamu mau kan seperti mereka?”
            “mau.mau kak” jawab Putri antusias
            “pokoknya kakak nggak mau ngeliat Putri sedih lagi, harus selalu tersenyum bagaimanapun keadaannya, oke? Janji ya?”
            “iya kak, Putri janji”
Raut bahagia terpancar dari wajah Dicky atas apa yang ia dengar barusan, kini adiknya mulai mengerti bahwa Tuhan tidak mungkin bersikap tidak adil, IA pasti adil, bahkan Tuhan memberinya kemampuan melukis, itu merupakan keistimewaan yang tidak semua orang miliki. Putri mulai yakin akan kemampuan dirinya, semangatnya berkobar dan tekatnya membulat, setiap hari ditemani kakaknya ia berlatih untuk membuat lukisan seindah mungkin, terkadang juga ditemani Bik Yem tatkala kakaknya pergi kesekolah atau mengerjakan tugas di rumah temannya, karena Home Schooling maka Putri belajar lebih santai dan itu membuat ia bisa berlatih kapan saja.
***
Senin, 19 November 2012
            Seorang gadis terlihat berseri dengan raut yang terkadang menegang lantaran perlombaan yang akan ia ikuti hari ini, ini lomba pertamanya setelah sekian lama terpuruk dalam pikiran negatifnya sendiri. Dengan kaos biru bunga-bunga serta rambut yang terikat kuda ia mulai mempersiapkan peralatan yang akan ia bawa. Tidak jauh darinya Bik Yem tengah sibuk memasukkan tempat bekal yang berisi beberapa potong roti kedalam tas ransel miliknya, tidak lupa juga Bik Yem memasukkan sebotol air mineral disebelahnya. Hari ini Bik Yem terlihat lebih rapi, pasalnya ia akan menemani Putri mengikuti perlombaan tersebut. Sedangkan Dicky, ia tengah sibuk dikamarnya untuk mempersiapkan peralatan tulis karena hari ini ia ada tes disekolahnya, karena itu ia tidak bisa menemani Putri diperlombaan tersebut.
            “Bik, titip Putri ya?”
Bik Yem tersenyum dan mengangguk.
            “Dek, kakak hari ini ada tes, kemungkinan tesnya sampai jam tigaan, jadi kakak nggak bisa nemenin kamu, tapi nanti kakak pasti datang, Do The Best ya?”
Dicky tersenyum mengusap rambut adiknya dan mencium keningnya, Putri terlihat bersedih namun juga sangat mendukung kakanya itu.
            “tapi nanti kakak pasti datang kan?”
            “Pasti!”
            “janji?”
            “Iya, kakak janji”
Senyuman manis terukir diwajah mereka berdua, Dicky melangkah pergi, tak lama setelah itu suara motor Dicky menderu menandakan bahwa ia sudah berangkat ke sekolah, Putri ditemani Bik Yem segera berangkat menuju tempat perlombaan.

Pukul 15.25 WIB
            Suasana menegang lantaran hasil perlombaan akan diumumkan, raut Putri begitu cemas, cemas menunggu hasil perlombaan dan juga cemas menunggu kedatangan kakaknya, rasanya ia ingin segera memperlihatkan lukisan yang ia buat pada kakaknya –  lukisan yang ia buat special untuk kakkanya. Suasana ramai dengan sorak sorai mengiringi putaran roda kursi Putri menuju panggung, Putri berhasil meraih juara 1 kategori Young Painters, prestasi luar biasa yang tak sempat ia pikirkan sebelumnya hingga kakaknya mampu membuka pikiran Putri betapa istimewanya dia. Putri sangat senang hingga air mata jatuh membasahi pipinya, dibelakang Putri terlihat Bik Yem yang membantu Putri menuju panggung. Bik Yem berseri-seri, ia sudah menganggap Putri dan Dicky seperti cucunya sendiri, Bik Yem yang memang seorang diri beruntung bisa hadir dalam kehidupan mereka sejak belasan tahun lalu.

Di tempat lain – Aula Sekolah Putra Harapan
            Seorang pemuda dengan langkah yang terburu-buru melewati ratusan siswa yang baru saja mengikuti serangkaian tes perguruan tinggi disana. Rautnya cemas dan wajahnya berkeringat, ia berlari menuju tempat parkir sekolahnya. Disela-sela langkah cepatnya, handphonenya berdering untuk kemudian diangkatnya.
            “halo dek?”
            “kakak dimana?” suara Putri dari ujung telepon
            “ini kakak baru mau kesana, kamu tunggu ya? O.iya gimana hasilnya?”
            “Huft, maaf ya kak” Terdengar suara Putri menghela nafas, untuk kemudian telepon terputus. Putri ingin memberikan kejutan pada kakaknya itu atas apa yang ia raih hari ini. Untuk itu ia sengaja berbicara bahwa seolah-olah ia gagal dalam perlombaan ini.

Dicky semakin cemas setelah mendengar jawaban atas pertanyaannya mengenai hasil perlombaan, Dicky takut adiknya kenapa-kenapa karena ia yakin adiknya akan sangat kecewa dengan perlombaan tersebut, terlebih teleponnya terputus setelah itu. Dengan tergesa-gesa Dicky memasukkan kunci motor keliangnya, sesekali gagal karena kecemasan yang semakin membuncah. Di perjalanan Dicky masih memikirkan nasib adiknya yang sangat membutuhkannya sekarang, ia memacu motornya lebih cepat, dilewatinya sebuah mobil Truck pengangkut beras dihadapannya.
            Tiiiiiiiiiiiiinnnnn! BRUAK!
Naas, sebuah mobil melintas dari arah berlawanan, Dicky oleng lalu ia terhempas beberapa meter dari jalanan, helemnya pecah dan pakaiannya lusuh sobek-sobek akibat bergesekan dengan aspal.

Di tempat perlombaan, Putri yang sedang menenggak air mineral tiba-tiba tersendat, ia batuk-batuk lalu pikirannya dipenuhi oleh wajah kakaknya. Ia heran dan rautnya berubah cemas.
“Kak Dicky kenapa ya? Cepatlah datang Kak” batinnya.
Lamunannya terusik tatkala handphonenya berbunyi.
            “Halo kak Dicky, kakak udah sampek mana?”
            “maaf Dik, ini dari kepolisian, kami ingin memberitahu bahwa kakak anda yang bernama Dicky mengalami kecelakaan, dan sekarang berada di Rumah Sakit Bunda Mulia”
Seketika Putri terdiam, handphonenya terjatuh, air matanyapun jatuh membasahi pipinya. Ia ditemani Bik Yem segera bergegas menuju Rumah Sakit.
***
Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Bunda Mulia,
Ditatapnya lekat wajah kakaknya itu, Putri mengerang berteriak tidak karuan, terlebih setelah dokter memberitahunya bahwa kakaknya telah meninggal dunia, lukanya teramat parah hingga nyawanya tidak dapat tertolong. Putri menangis tersedu-sedu ditemani Bik Yem yang juga sangat terpukul atas kejadian itu.

Inilah hari dimana suka dan duka berbaur dalam satu alur, Dicky yang mampu mengubah Putri menjadi lebih percaya diri kini telah tiada. Putri menyesal, ia belum memberitahukan bahwa ia berhasil meraih juara satu. Diletakkannya lukisan yang sedari tadi ingin Putri berikan itu disamping jasad kakaknya. Putri berjanji agar apa yang selama ini kakaknya inginkan tercapai, yaitu melihat Putri selalu tersenyum dalam keadaan apapun, dan itu membuat Putri sedikit lebih tegar sekarang.

Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar