Selasa, 02 April 2013

Gerbong 13


Karya: Bediar

            Seorang pemuda terlihat berdebat dengan salah seorang petugas karcis di Stasiun Pasar Senen. Pemuda berambut gimbal itu merampas tiket yang tengah dipegang oleh petugas karcis dari balik kaca loket, tangannya menjulur melalui lubang berdiameter tiga puluh centi meter hingga karcis kini berada
ditangannya. Dibelakang pemuda itu, beberapa orang mulai berteriak kesal memaki pemuda yang tengah berdebat dibarisan depan. Aku yang berada dibarisan belakang hanya diam menyaksikan orang-orang itu berucap kata-kata kasar. Tidak ingin ambil pusing, kuambil headset yang tersimpan disaku jaket yang kukenakan lalu memakainya. Alunan lagu Your Guardian Angel dari miliknya The Red Jumpsuit Apparatus mulai terdengar menggantikan suara-suara sumbang yang sebelumnya kudengar. Tiba-tiba dari arah belakang muncul dua orang security yang dengan segera mengamankan keadaan dihadapanku. Cukup lama hingga akhirnya dua orang security membawa pemuda berambut gimbal itu pergi dan suasana kembali aman hingga antrian mulai berkurang.
***
Aku berjalan menyusuri gerbong demi gerbong, sesekali mataku melirik karcis yang kupegang untuk memastikan nomor tempat dudukku. Mataku yang senantiasa beralih antara karcis dan tempat duduk membuat jalanku kurang focus.
BRUK!
“maaf” ucapku refleks.
Seorang wanita paru baya berpakaian serba putih terjatuh. Wanita bermata elang itu terlihat murung. Aku segera membantunya berdiri. Namun tiba-tiba, wanita itu menggenggam pergelangan tangan kananku dengan erat. Kurasakan sesuatu menusuk kulit hingga meninggalkan rasa sakit disana.
            “AW!”
Mata elangnya menatapku tajam, aku bergidik, bangkit dan segera kupacu langkahku secepat mungkin.

            “Huft, akhirnya ketemu juga” ucapku pelan.
Kutanggalkan tas ransel  yang cukup membebaniku untuk kemudian aku duduk di bangku nomor tiga di gerbong tiga belas ini. Kurasakan kulitku terasa perih, seperti ada sebuah luka disana, benar saja, pergelangan tangan kananku berdarah dan membekas lima kuku seseorang – pikiranku langsung menerka-nerka – apa ini karena wanita tadi?. Aku berbalik, mencoba mengalihkan pikiranku dari wanita bermata elang itu. Aku terkejut, seorang pemuda berambut gimbal yang kulihat tadi kini berada dihadapanku, wajahnya terlihat begitu garang. Tanpa berkata sedikitpun ia duduk diseberang kursiku – berhadapan dengan dudukku. Aku diam mematung.
***
Satu jam berselang aku hanya sibuk dengan BB-ku tanpa basa-basi berbincang dengan seseorang disekitarku. Lelaki itu – lelaki berambut gimbal terlihat mengamatiku penuh ancam. Perlahan kuberanikan menyapanya. Dia merespon.
            “Saya Vano” ucapku ‘sok’ bersahabat sembari mengulurkan tangan.
            “John, Preman!” sahutnya garang.
Mataku menyipit – menelisik sesuatu yang ganjil – pergelangan tangannya terlihat berdarah dan berbekas seperti apa yang aku alami. Aku pura-pura cuek, aku pamit, melangkah pergi untuk ke toilet.

Langkahku sedikit ragu dan diselimuti tanda tanya “apa laki-laki itu juga bertemu dengan wanita bermata elang tadi?”

            BRUK!
            “maaf nak, maaf!” seorang wanita tua dengan gelamor perhiasannya menabrakku, rautnya terlihat ketakutan.
            “kenapa buk?”
            “wanita itu, wanita itu disini!” jawabnya gemetar.
            “wanita?” batinku. Tanpa merespon ucapan wanita itu, tanganku segera meraih pergelangan tangannya. Benar dugaanku, pergelangannya berdarah dan berbekas kuku-kuku seperti pergelanganku dan lelaki berambut gimbal itu.
            “apa yang sebenarnya terjadi?”
Kereta berguncang, orang-orang disana berteriak, semua panic dan berusaha mencari pegangan. Aku bangkit dengan sempoyongan. Lima menit berguncang, kereta berhenti. Gerbong sunyi bak tempat penebusan dosa.

            “tiga belas orang di gerbong tiga belas” suara seorang wanita terdengar parau dan menyeramkan.
Seketika semua beringsut, menyudut menjadi satu – termasuk aku. Wanita bermata elang muncul dengan raut seperti ‘pembunuh’.
            “kalian manusia-manusia tidak berguna! Tidak mempunyai hati! Terkutuklah kalian” suaranya bak penyihir di dalam dongeng.
            “kamu!” ia menunjuk ke wanita tua yang menabrakku tadi.
            “kamu perempuan bengis! Kamu jual anakmu demi kekayaan! Matilah kau!” ucapnya untuk kemudian terlihat wanita tua itu tersendak dan keluarlah darah dari indera-inderanya – mati.
Satu persatu dari kami terbunuh olehnya – oleh wanita yang entah darimana asalnya. Hingga tibalah aku sebagai orang ketiga belas. Dia menatapku tajam.
            “siapa kamu?! Hanya Tuhan yang bisa menghukum kami! Apa salahku?” ucapku dengan nada tinggi namun sedikit gemetar.
            “kamu pemuda dua puluh tahun! Aku tahu kamu mahasiswa hukum! Dan kamu pasti sudah cukup mengerti tentang hukum! Tetapi mengapa kamu diam saja saat ada perdebatan di Stasiun tadi! Manusia tidak berguna!” sahutnya ganas.
Aku menangkap setiap ucapannya, pikiranku terbang ke waktu beberapa puluh menit lalu – perdebatan sengit antara lelaki berambut gimbal dan petugas karcis, serta kegaduhannya disana.
            “tolong, jangan bunuh saya! Saya mohon!” wajahku semakin pucat, aku beringsut hingga benar-benar disudut gerbong. Ia geram dan mendekatiku hingga tangannya terasa menyentuh leherku.
            “tidak! Jangan bunuh saya! Jangaaaan!” aku berteriak dengan sisa suaraku, berusaha meronta hingga aku melemah dan GELAP.

Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar