Karya: Bediar
Seorang
pemuda terlihat berdebat dengan salah seorang petugas karcis di Stasiun Pasar
Senen. Pemuda berambut gimbal itu merampas tiket yang tengah dipegang oleh
petugas karcis dari balik kaca loket, tangannya menjulur melalui lubang berdiameter
tiga puluh centi meter hingga karcis kini berada
ditangannya. Dibelakang pemuda itu, beberapa orang mulai berteriak kesal memaki pemuda yang tengah berdebat dibarisan depan. Aku yang berada dibarisan belakang hanya diam menyaksikan orang-orang itu berucap kata-kata kasar. Tidak ingin ambil pusing, kuambil headset yang tersimpan disaku jaket yang kukenakan lalu memakainya. Alunan lagu Your Guardian Angel dari miliknya The Red Jumpsuit Apparatus mulai terdengar menggantikan suara-suara sumbang yang sebelumnya kudengar. Tiba-tiba dari arah belakang muncul dua orang security yang dengan segera mengamankan keadaan dihadapanku. Cukup lama hingga akhirnya dua orang security membawa pemuda berambut gimbal itu pergi dan suasana kembali aman hingga antrian mulai berkurang.
ditangannya. Dibelakang pemuda itu, beberapa orang mulai berteriak kesal memaki pemuda yang tengah berdebat dibarisan depan. Aku yang berada dibarisan belakang hanya diam menyaksikan orang-orang itu berucap kata-kata kasar. Tidak ingin ambil pusing, kuambil headset yang tersimpan disaku jaket yang kukenakan lalu memakainya. Alunan lagu Your Guardian Angel dari miliknya The Red Jumpsuit Apparatus mulai terdengar menggantikan suara-suara sumbang yang sebelumnya kudengar. Tiba-tiba dari arah belakang muncul dua orang security yang dengan segera mengamankan keadaan dihadapanku. Cukup lama hingga akhirnya dua orang security membawa pemuda berambut gimbal itu pergi dan suasana kembali aman hingga antrian mulai berkurang.
***
Aku berjalan menyusuri gerbong demi gerbong, sesekali
mataku melirik karcis yang kupegang untuk memastikan nomor tempat dudukku.
Mataku yang senantiasa beralih antara karcis dan tempat duduk membuat jalanku
kurang focus.
BRUK!
“maaf” ucapku refleks.
Seorang wanita paru baya berpakaian serba putih terjatuh.
Wanita bermata elang itu terlihat murung. Aku segera membantunya berdiri. Namun
tiba-tiba, wanita itu menggenggam pergelangan tangan kananku dengan erat.
Kurasakan sesuatu menusuk kulit hingga meninggalkan rasa sakit disana.
“AW!”
Mata elangnya menatapku tajam, aku bergidik, bangkit dan
segera kupacu langkahku secepat mungkin.
“Huft,
akhirnya ketemu juga” ucapku pelan.
Kutanggalkan tas ransel
yang cukup membebaniku untuk kemudian aku duduk di bangku nomor tiga di
gerbong tiga belas ini. Kurasakan kulitku terasa perih, seperti ada sebuah luka
disana, benar saja, pergelangan tangan kananku berdarah dan membekas lima kuku
seseorang – pikiranku langsung menerka-nerka – apa ini karena wanita tadi?. Aku berbalik, mencoba mengalihkan
pikiranku dari wanita bermata elang itu. Aku terkejut, seorang pemuda berambut
gimbal yang kulihat tadi kini berada dihadapanku, wajahnya terlihat begitu
garang. Tanpa berkata sedikitpun ia duduk diseberang kursiku – berhadapan
dengan dudukku. Aku diam mematung.
***
Satu jam berselang aku hanya sibuk dengan BB-ku tanpa basa-basi
berbincang dengan seseorang disekitarku. Lelaki itu – lelaki berambut gimbal
terlihat mengamatiku penuh ancam. Perlahan kuberanikan menyapanya. Dia
merespon.
“Saya
Vano” ucapku ‘sok’ bersahabat sembari mengulurkan tangan.
“John,
Preman!” sahutnya garang.
Mataku menyipit – menelisik sesuatu yang ganjil –
pergelangan tangannya terlihat berdarah dan berbekas seperti apa yang aku
alami. Aku pura-pura cuek, aku pamit, melangkah pergi untuk ke toilet.
Langkahku sedikit ragu dan diselimuti tanda tanya “apa laki-laki itu juga bertemu dengan
wanita bermata elang tadi?”
BRUK!
“maaf
nak, maaf!” seorang wanita tua dengan gelamor perhiasannya menabrakku, rautnya
terlihat ketakutan.
“kenapa
buk?”
“wanita
itu, wanita itu disini!” jawabnya gemetar.
“wanita?” batinku. Tanpa merespon ucapan
wanita itu, tanganku segera meraih pergelangan tangannya. Benar dugaanku,
pergelangannya berdarah dan berbekas kuku-kuku seperti pergelanganku dan lelaki
berambut gimbal itu.
“apa yang sebenarnya terjadi?”
Kereta berguncang, orang-orang disana berteriak, semua
panic dan berusaha mencari pegangan. Aku bangkit dengan sempoyongan. Lima menit
berguncang, kereta berhenti. Gerbong sunyi bak tempat penebusan dosa.
“tiga
belas orang di gerbong tiga belas” suara seorang wanita terdengar parau dan
menyeramkan.
Seketika semua beringsut, menyudut menjadi satu –
termasuk aku. Wanita bermata elang muncul dengan raut seperti ‘pembunuh’.
“kalian
manusia-manusia tidak berguna! Tidak mempunyai hati! Terkutuklah kalian”
suaranya bak penyihir di dalam dongeng.
“kamu!”
ia menunjuk ke wanita tua yang menabrakku tadi.
“kamu
perempuan bengis! Kamu jual anakmu demi kekayaan! Matilah kau!” ucapnya untuk
kemudian terlihat wanita tua itu tersendak dan keluarlah darah dari
indera-inderanya – mati.
Satu persatu dari kami terbunuh olehnya – oleh wanita
yang entah darimana asalnya. Hingga tibalah aku sebagai orang ketiga belas. Dia
menatapku tajam.
“siapa
kamu?! Hanya Tuhan yang bisa menghukum kami! Apa salahku?” ucapku dengan nada
tinggi namun sedikit gemetar.
“kamu pemuda
dua puluh tahun! Aku tahu kamu mahasiswa hukum! Dan kamu pasti sudah cukup mengerti
tentang hukum! Tetapi mengapa kamu diam saja saat ada perdebatan di Stasiun
tadi! Manusia tidak berguna!” sahutnya ganas.
Aku menangkap setiap ucapannya, pikiranku terbang ke
waktu beberapa puluh menit lalu – perdebatan sengit antara lelaki berambut
gimbal dan petugas karcis, serta kegaduhannya disana.
“tolong,
jangan bunuh saya! Saya mohon!” wajahku semakin pucat, aku beringsut hingga
benar-benar disudut gerbong. Ia geram dan mendekatiku hingga tangannya terasa
menyentuh leherku.
“tidak!
Jangan bunuh saya! Jangaaaan!” aku berteriak dengan sisa suaraku, berusaha
meronta hingga aku melemah dan GELAP.
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar