Karya: Bediar
“Klein, tunggu aku!”
Seorang pemuda tampan
berhenti. Pemuda 15 tahun itu membawa limas segitiga berwarna cokelat yang
disisi-sisinya berhias ukiran tiga naga melingkari sebuah kota.
“hey, apa rencana kita siang ini?”
“ikut aku” pemuda tampan itu menepuk pundak pemuda
berkaca mata yang menghampirinya.
Mereka berjalan dengan
langkah cepat, menyusuri lorong-lorong yang diapit gedung-gedung megah Sekolah
Larcodiba. Sekolah yang hampir seluruh gedungnya berbentuk segitiga itu tertata
apik dengan lorong-lorong meliuk diantaranya. Larcodiba merupakan sekolah
terbaik di Indonesia yang diambil dari nama belakang Jerenus Larcodiba, seorang
professor berkebangsaan Yerussalem yang mengabdi di Indonesia. Setelah
menyelesaikan study S2 nya di Cambridge University beliau kembali ke
Indonesia dan merintis sekolah ini.
“apa yang kau bawa?”
“ini rencana baru, lebih seru! Dimana Nadira?”
Keluarlah mereka dari
lorong-lorong disana.
Zidan – pemuda berkaca
mata – mengarahkan pandangannya kesekitar mereka, berusaha menemukan sosok yang
dicari Klein.
“itu!” tunjuk Zidan ke seorang gadis yang duduk di
salah satu bangku panjang yang berada dibawah pohon besar. Mereka
menghampirinya.
“Nadira, aku punya rencana baru” Klein beringsut
duduk disebelah Nadira, tatapannya penuh rencana.
“ini lebih seru, dan lebih menantang” tegasnya lagi.
Nadira menyeringai,
Zidan tampak bingung. Dikeluarkannya bolpoint hitam dari saku celananya. Zidan
segera menyentuhkan bolpoint itu ke kaca mata bulatnya. Ia perhatikan lekat-lekat
limas segitiga ditangan Klein.
“professor?”
Nadira dan klein
tersenyum lalu mengangguk.
***
Langit tiba-tiba gelap,
angin berdesir hebat, namun tak sampai memusnahkan sekitarnya. Mereka bergegas
pergi, suasana sekolah yang tampak sepi membuat mereka leluasa bermain-main
dengan kotak curian Klein itu.
“dari mana kalian tahu tentang benda semacam ini?”
tanya Zidan dalam langkah cepatnya.
“aku pernah melihat professor membawanya” jawab
Nadira
“bahkan aku tahu dimana professor meletakkannya”
sahut Klein menyeringai.
Mereka adalah sekelompok
siswa cerdas yang sangat dibanggakan sekolah, datang lebih awal dan selalu
pulang belakangan, riset mereka selalu membuat kagum professor Jerenus.
Pengetahuan mereka
tentang seluk beluk negara di dunia membuat mereka pernah merasakan study di Finlandia – negera dengan
sistem pendidikan terbaik di Dunia.
Sampailah mereka didepan
sebuah ruang yang didalamnya tampak sepi dan redup. Ruangan yang terletak
disudut sekolah itu merupakan gudang yang jarang sekali dijamah oleh penduduk
sekolah, untuk itu mereka kesana, melancarkan rencananya bermain-main dengan
limas segitiga curian Klein itu.
“pegang ini” ucap Klein menyodorkan limas segitiganya
ke Zidane.
“apa yang akan kamu lakukan?” tanya Zidane sembari
mengambil limas segitiga itu dari tangan Klein. Klein merogoh kantung depan
celananya. Dikeluarkannya sebuah kartu yang biasa dibawa school keeper untuk membuka seluruh gedung di sekolah itu.
“kamu mencurinya juga?” tanya Nadira.
“tidak, aku hanya meminjamnya sebentar”
Pintu terbuka. Klein
masuk duluan diikuti Nadira dan Zidane. Kepala Zidane menoleh ke kiri dan
kanan, memastikan bahwa tidak ada orang yang mengetahui keberadaan mereka.
Zidane mengacungkan jempolnya. Aman!
Klein mengambil bangku
kecil yang tergeletak disana. Dibersihkannya debu-debu dengan telapak
tangannya. Zidane meletakkan limas segitiga itu diatasnya setelah mendapat
komando dari Klein. Mereka duduk mengitari bangku kecil itu.
“apa yang akan kita lakukan dengan benda ini?” tanya
Nadira.
“aku juga tidak tahu!” jawab Klein enteng.
Wajah Nadira dan Zidan
mendadak kesal, bagaimana bisa mereka mengikuti Klein yang terlihat ‘sok’ tahu
nyatanya juga tidak mengerti bagaimana cara kerja benda yang dibawanya itu.
Klein tersenyum hambar.
“tenang, pasti kita bisa menemukannya” sahutnya
kemudian.
Klein mengambil benda
itu, diputar-putarnya beberapa saat hingga akhirnya ia menemukan sebuah tulisan
di bawah limas segitiga itu. Klein mengalihkan pandangannya ke kedua sahabatnya
itu.
Melihat kerutan di
kening Klein, Nadira dan Zidan mendekat.
City of Shadows? Ucap mereka bersamaan. Klein kembali sibuk dengan benda itu. Dibawah
tulisan ‘city of shadows’ terdapat kalimat
seperti sebuah petunjuk bagaimana cara menggunakan benda itu.
Zidan meraih benda itu
dari tangan Klein dan membacanya. Tidak ada pengantar dan penutup, yang ada
hanyalah petunjuk. Hanya itu. Singkat.
Tempelkan
tangan kananmu pada salah satu sisi limas segitiga. Pecahkan kodenya. Temukan
rahasia dari benda ini.
Tanpa banyak berpikir,
Zidan meletakkan kembali benda itu diatas meja kecil. Mereka mengambil posisi.
Ditempelkannya telapak tangan kanan mereka ke sisi-sisi benda itu secara
bersamaan. Kebetulan mereka bertiga sehingga jumlahnya pas dengan jumlah sisi
limas segitiga itu. Beberapa saat tidak terjadi apa-apa. Mereka saling tatap.
Raut mereka penuh dengan tanda tanya dan sedikit perasaan takut.
Tiba-tiba mereka
terpental cukup jauh, bahkan Nadira tersungkur diantara kardus-kardus berdebu
disana. Klein dan Zidan bangkit dan meraih tangan Nadira untuk membantunya
bangkit. Benda itu bergerak-gerak kecil, mereka mendekatinya. Benda itu
berhenti bergerak dan bercahaya. Cahayanya begitu terang hingga menyilaukan
mata mereka, refleks mereka tutupi mata mereka dengan tangan. Cahaya itu hanya
setengah menit, kemudian redup. Sisi limas yang disentuh dengan telapak tangan Klein
tadi terbuka, puluhan huruf tertuliskan disana, tidak beraturan.
“diantara kita bertiga, kamu yang paling mahir menganalisis
kode-kode rahasia! cobalah!” ucap Klein pada Nadira. Nadira memicingkan matanya
dan mencoba memecahkan kode itu.
P K M S H L R o F L G J Y
F U o N S A M J D H
Sepuluh menit lebih
Nadira memperhatikan huruf-huruf itu, namun tidak ia temukan apa maksudnya.
“lama sekali kau!” ucap Zidan segera merebut benda
dihadapan Nadira. Nadira diam saja. Ia beringsut duduk bersandar di dinding. Klein
Menghampirinya. Sedangkan Zidan sibuk memutar-mutar benda itu.
“gimana Ra?” ucap Klein.
“professor pernah bercerita sesuatu padamu?” tanya Nadira
menatap Klein serius.
“biasa, Kakek sering menceritakan petualangannya,
penemuan-penemuannya, kisah masa kecilnya, dan…..” Belum selesai Klein
menjelaskan, Nadira memotong pembicaraannya.
“tanggal berapa kakekmu lahir?”
“4 Februari 1957”
Nadira bangkit mendengar
ucapan Klein. Ia menghampiri Zidane dan merebut limas segitiga ditangannya. Ia
kembali sibuk dengan huruf-huruf itu, diraihnya bolpoint black lalu mengarisbawahi tiga huruf diantara huruf-huruf itu.
“tanggal empat, bulan dua, tahun Sembilan belas lima tujuh”
P K M S H L R o F
L G J Y F U o N S A J D H M
“S L M?” ucap Klein dan Zidan bersamaan.
“ada dua lingkaran kecil yang memisah tiga deretan
huruf, dari masing-masing deretan huruf terdapat sebuah huruf yang merupakan
kata kuncinya. S merupakan huruf kedua yang berarti tanggal lahir kakekmu. L
merupakan huruf ke empat yang berarti bulan lahir kakekmu. Dan M merupakan
huruf ke tujuh yang berarti angka terakhir tahun lahir kakekmu, jadi ketiga huruf
yang menjadi kata kunci adalah S L M” jelas Nadira.
“aku yakin ini pasti singkatan atau sebuah inisial”
Klein berpikir sejenak “Kota! Seperti yang tertera di bawah limas itu” ucapnya
kemudian. “Dan, bukankah kamu hafal semua inisial kota-kota di dunia? Coba
ingat-ingat, kota atau negara mana yang berinisial SLM” ucap Klein pasti.
“S L M?” kening Zidan berkerut. Disebelahnya,
tiba-tiba Klein bercahaya, tubuhnya
menampakkan bayangan – bayangan sebuah kota yang sedang dipikirkan oleh mereka.
Bayangan itu tampak jelas terpancar dari
tubuh Klein, bangunan-bangunan kokoh, sebuah kubah dan juga menara. Nadira dan
Zidan sibuk mengamati bayangan Klein. “Yerussalem!” ucap Zidan kemudian.
Tiba-tiba cahaya itu redup, terjadi guncangan dahsyat dan seperti ada lingkaran
kecil yang mucul di sisi limas yang berkode tadi. Lingkaran itu berputar-putar
dan semakin membesar hingga mampu menarik ketiga tubuh remaja-remaja itu.
Gelap. Mereka berteriak.
BRUAK!!!
Klein, Zidan dan Nadira
terhempas ke gundukan pasir sesaat setelah teriakan mereka mengaung di sebuah
ruang di Larcodiba. Pakaian mereka lusuh, bahkan ta ngan mereka terluka akibat
gesekan yang ckup keras dengan ribuan pasir disana.
“dimana kita?” Nadira menyeletuk sembari memegangi
kepalanya.
Mata mereka bertemu dan
menyapu sekitar.
“ini Yerussalem, kota suci tiga agama, Yahudi, Kristen dan Islam. Kota ini diklaim sebagai ibukota Israel, meskipun tidak
diakui secara internasional, maupun bagian dari Palestina. Secara de facto kota ini dikuasai oleh
Israel. Para elit Israel menganggap kota suci ini adalah bagian
dari negaranya dan itu adalah bentuk ideologi "Zionisme". Dari semua negara yang memiliki hubungan
diplomatik dengan Israel, hanya Kosta Rika dan El Salvador saja yang menempatkan kedutaan mereka di Yerusalem.
Lainnya di Tel Aviv, karena menurut PBB,
Yerusalem akan dijadikan Kota Internasional. Oleh orang-orang Palestina,
Yerusalem juga dianggap sebagai ibu kota Palestina. Kota historis Yerusalem
adalah sebuah warisan dunia yang dilindungi
oleh UNESCO sejak tahun 1981. Sepanjang sejarahnya, Yerusalem
telah dihancurkan dua kali, dikepung 23 kali, diserang 52 kali, dan dikuasai
atau dikuasai ulang 44 kali” Jelas Klein.
Zidan dan Nadira termangu
mendengar penjelasan Klein. Diantara mereka bertiga, Klein lah yang pengetahuannya
lebih banyak mengenai sejarah negara-negara di dunia. Mereka bertiga mempunyai
kemampuannya masing-masing dalam dunia kenegaraan.
***
Inilah kali pertama mereka
menginjak tanah Yerussalem, mereka sangat terkagum-kagum, terlebih Klein yang
merupakan cucu kandung dari professor Jerenus larcodiba. Entah kenapa, Klein
belum pernah menginjakkan kakinya ke negara asal kakeknya itu. Dulu, klein
pernah menanyakan hal ini, namun kakeknya hanya menjawab.
“nanti kamu sendiri yang akan kesana”
Mungkin, inilah arti dari
ucapan kakeknya dulu. Sekarang Klein benar-benar berada di Yerussalem, bahkan
dengan kedua sahabatnya.
Mereka berjalan menyusuri Kota
Lama dan Kubah Shakhrah – gedung-gedung bersejarah yang
masih tampak kokoh disana, kota sedamai itu kini menjadi salah satu kota yang
sangat diburu oleh ilmuan-ilmuan terkenal termasuk kakek Klein – Jerenus
Larcodiba. Sesekali Zidan menyentuhkan jemarinya ke dinding-dinding gedung
disana, Nadira – disela-sela langkahnya – menyibukkan diri dengan mengamati
gerak-gerik orang yang berlalu lalang disana, sedangkan Klein, matanya masih
nanar – seperti ada yang ia pikirkan sekarang. Ketiga remaja itu merasakan
keanehan dengan sekeliling mereka. Benar saja, bangunan-bangunan itu bergerak
mencoba menghimpit mereka. Orang-orang yang tadinya cukup ramai menghiasi
setiap sudut kota pun berubah menjadi pasir yang kemudian menjelma sosok-sosok
menakutkan. Mereka berlari. Klein mencoba melawan namun sosok itu melebur
menjadi pasir kembali. Mereka berlari begitu cepat menghindari gedung-gedung
yang runtuh tak beraturan. Namun, sial, kacamata Zidan terjatuh dan membuatnya
sedikit samar dengan pandangannya. Nadira yang sangat paham jika Zidan akan
sangat sulit melihat jika tanpa kacamatanya segera berlari menghampiri Zidan
dan menariknya. Klein menyadari bahwa Nadira sedikit kesulitan, untuk itu – dia
yang sebelumnya sibuk melawan makhluk pasir – kini berlari membantu Nadira.
Mereka berlari bersamaan hingga keringat membanjiri tubuh mereka. Disaat yang
sama, sosok pasir yang menyerbu mereka berkumpul menjadi satu hingga membentuk
sebuah sosok yang semakin besar, semakin besar dan berputar – menelan tubuh
mereka bertiga.
BRUAK!!!
Kardus-kardus berdebu itu
berhamburan dihempas tiga tubuh remaja yang baru saja menyelesaikan
petualangannya. Mereka terengah. Zidan masih samar karena kacamatanya yang
hilang. Nadira beringsut sambil memegangi lengan kirinya. Klein bangkit dan
mencoba menerawang tentang apa yang sebenarnya terjadi.
KLIK!
Lampu di ruang sepi dan redup
itu menyala begitu terang. Cahayanya 100 kali lebih terang dari sebelumnya,
bahkan ruangan itu serasa tak beratap karena terangnya.
***
Derap langkah kaki seseorang
memasuki ruangan itu. Langkah yang membuat jantung mereka berdegup. Lelaki itu
melemparkan kaca mata kearah Zidan, membuat mereka semakin takut.
“Karena kenakalan kalian! Kalian dipastikan tidak
akan lulus ujian tahun ini!”
Professor Jerenus mengulurkan
tangannya dan dengan seketika limas segitiga berwarna cokelat itu melayang dan kini berada ditangan
Professor. Mereka bertiga diam. Rautnya mencoba protes namun tak ada satu
katapun yang keluar dari mulut mereka.
Professor berbalik dan
meninggalkan mereka dengan kebohongan yang sebenarnya tak pernah Proffesor
inginkan. Baginya, kejujuran lebih utama. Ketiga remaja itu menemukan apa yang
mereka lakukan di Yerussalem – yaitu kekacauan. Sebenarnya, Professor memang
sengaja menciptakan benda itu untuk ketiga murid cerdas di Larcodiba. Namun
mereka sendiri yang terperangkap dengan ketidaksabaran itu. Hingga, mereka
berhadapan dengan seharusnya yang tidak akan mereka hadapi di Yerussalem. Sikap
tegas sang Professor meski ada cucunya diantara ketiga remaja itu.
Klein, Zidan dan Nadira duduk
dan semakin lemas. Mereka menyesal.
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar