Selasa, 02 April 2013

City of Shadows


Karya: Bediar

                “Klein, tunggu aku!”
Seorang pemuda tampan berhenti. Pemuda 15 tahun itu membawa limas segitiga berwarna cokelat yang disisi-sisinya berhias ukiran tiga naga melingkari sebuah kota.
                “hey, apa rencana kita siang ini?”
                “ikut aku” pemuda tampan itu menepuk pundak pemuda berkaca mata yang menghampirinya.
Mereka berjalan dengan langkah cepat, menyusuri lorong-lorong yang diapit gedung-gedung megah Sekolah Larcodiba. Sekolah yang hampir seluruh gedungnya berbentuk segitiga itu tertata apik dengan lorong-lorong meliuk diantaranya. Larcodiba merupakan sekolah terbaik di Indonesia yang diambil dari nama belakang Jerenus Larcodiba, seorang professor berkebangsaan Yerussalem yang mengabdi di Indonesia. Setelah menyelesaikan study S2 nya di Cambridge University beliau kembali ke Indonesia dan merintis sekolah ini.
                “apa yang kau bawa?”
                “ini rencana baru, lebih seru! Dimana Nadira?”
Keluarlah mereka dari lorong-lorong disana.
Zidan – pemuda berkaca mata – mengarahkan pandangannya kesekitar mereka, berusaha menemukan sosok yang dicari Klein.
                “itu!” tunjuk Zidan ke seorang gadis yang duduk di salah satu bangku panjang yang berada dibawah pohon besar. Mereka menghampirinya.
                “Nadira, aku punya rencana baru” Klein beringsut duduk disebelah Nadira, tatapannya penuh rencana.
                “ini lebih seru, dan lebih menantang” tegasnya lagi.
Nadira menyeringai, Zidan tampak bingung. Dikeluarkannya bolpoint hitam dari saku celananya. Zidan segera menyentuhkan bolpoint itu ke kaca mata bulatnya. Ia perhatikan lekat-lekat limas segitiga ditangan Klein.
                “professor?”
Nadira dan klein tersenyum lalu mengangguk.
***
Langit tiba-tiba gelap, angin berdesir hebat, namun tak sampai memusnahkan sekitarnya. Mereka bergegas pergi, suasana sekolah yang tampak sepi membuat mereka leluasa bermain-main dengan kotak curian Klein itu.
                “dari mana kalian tahu tentang benda semacam ini?” tanya Zidan dalam langkah cepatnya.
                “aku pernah melihat professor membawanya” jawab Nadira
                “bahkan aku tahu dimana professor meletakkannya” sahut Klein menyeringai.

Mereka adalah sekelompok siswa cerdas yang sangat dibanggakan sekolah, datang lebih awal dan selalu pulang belakangan, riset mereka selalu membuat kagum professor Jerenus.
Pengetahuan mereka tentang seluk beluk negara di dunia membuat mereka pernah merasakan study di Finlandia – negera dengan sistem pendidikan terbaik di Dunia.

Sampailah mereka didepan sebuah ruang yang didalamnya tampak sepi dan redup. Ruangan yang terletak disudut sekolah itu merupakan gudang yang jarang sekali dijamah oleh penduduk sekolah, untuk itu mereka kesana, melancarkan rencananya bermain-main dengan limas segitiga curian Klein itu.
                “pegang ini” ucap Klein menyodorkan limas segitiganya ke Zidane.
                “apa yang akan kamu lakukan?” tanya Zidane sembari mengambil limas segitiga itu dari tangan Klein. Klein merogoh kantung depan celananya. Dikeluarkannya sebuah kartu yang biasa dibawa school keeper untuk membuka seluruh gedung di sekolah itu.
                “kamu mencurinya juga?” tanya Nadira.
                “tidak, aku hanya meminjamnya sebentar”
Pintu terbuka. Klein masuk duluan diikuti Nadira dan Zidane. Kepala Zidane menoleh ke kiri dan kanan, memastikan bahwa tidak ada orang yang mengetahui keberadaan mereka. Zidane mengacungkan jempolnya. Aman!

Klein mengambil bangku kecil yang tergeletak disana. Dibersihkannya debu-debu dengan telapak tangannya. Zidane meletakkan limas segitiga itu diatasnya setelah mendapat komando dari Klein. Mereka duduk mengitari bangku kecil itu.
                “apa yang akan kita lakukan dengan benda ini?” tanya Nadira.
                “aku juga tidak tahu!” jawab Klein enteng.
Wajah Nadira dan Zidan mendadak kesal, bagaimana bisa mereka mengikuti Klein yang terlihat ‘sok’ tahu nyatanya juga tidak mengerti bagaimana cara kerja benda yang dibawanya itu. Klein tersenyum hambar.
                “tenang, pasti kita bisa menemukannya” sahutnya kemudian.
Klein mengambil benda itu, diputar-putarnya beberapa saat hingga akhirnya ia menemukan sebuah tulisan di bawah limas segitiga itu. Klein mengalihkan pandangannya ke kedua sahabatnya itu.
Melihat kerutan di kening Klein, Nadira dan Zidan mendekat.
City of Shadows? Ucap mereka bersamaan. Klein kembali sibuk dengan benda itu. Dibawah tulisan ‘city of shadows’ terdapat kalimat seperti sebuah petunjuk bagaimana cara menggunakan benda itu.
Zidan meraih benda itu dari tangan Klein dan membacanya. Tidak ada pengantar dan penutup, yang ada hanyalah petunjuk. Hanya itu. Singkat.
                Tempelkan tangan kananmu pada salah satu sisi limas segitiga. Pecahkan kodenya. Temukan rahasia dari benda ini.
Tanpa banyak berpikir, Zidan meletakkan kembali benda itu diatas meja kecil. Mereka mengambil posisi. Ditempelkannya telapak tangan kanan mereka ke sisi-sisi benda itu secara bersamaan. Kebetulan mereka bertiga sehingga jumlahnya pas dengan jumlah sisi limas segitiga itu. Beberapa saat tidak terjadi apa-apa. Mereka saling tatap. Raut mereka penuh dengan tanda tanya dan sedikit perasaan takut.
Tiba-tiba mereka terpental cukup jauh, bahkan Nadira tersungkur diantara kardus-kardus berdebu disana. Klein dan Zidan bangkit dan meraih tangan Nadira untuk membantunya bangkit. Benda itu bergerak-gerak kecil, mereka mendekatinya. Benda itu berhenti bergerak dan bercahaya. Cahayanya begitu terang hingga menyilaukan mata mereka, refleks mereka tutupi mata mereka dengan tangan. Cahaya itu hanya setengah menit, kemudian redup. Sisi limas yang disentuh dengan telapak tangan Klein tadi terbuka, puluhan huruf tertuliskan disana, tidak beraturan.
                “diantara kita bertiga, kamu yang paling mahir menganalisis kode-kode rahasia! cobalah!” ucap Klein pada Nadira. Nadira memicingkan matanya dan mencoba memecahkan kode itu.
P K M S H L R o F L G J Y F U o N S A M J D H
Sepuluh menit lebih Nadira memperhatikan huruf-huruf itu, namun tidak ia temukan apa maksudnya.
                “lama sekali kau!” ucap Zidan segera merebut benda dihadapan Nadira. Nadira diam saja. Ia beringsut duduk bersandar di dinding. Klein Menghampirinya. Sedangkan Zidan sibuk memutar-mutar benda itu.
                “gimana Ra?” ucap Klein.
                “professor pernah bercerita sesuatu padamu?” tanya Nadira menatap Klein serius.
                “biasa, Kakek sering menceritakan petualangannya, penemuan-penemuannya, kisah masa kecilnya, dan…..” Belum selesai Klein menjelaskan, Nadira memotong pembicaraannya.
                “tanggal berapa kakekmu lahir?”
                “4 Februari 1957”
Nadira bangkit mendengar ucapan Klein. Ia menghampiri Zidane dan merebut limas segitiga ditangannya. Ia kembali sibuk dengan huruf-huruf itu, diraihnya bolpoint black lalu mengarisbawahi tiga huruf diantara huruf-huruf itu. “tanggal empat, bulan dua, tahun Sembilan belas lima tujuh”
P K M S H L R o F L G J Y F U o N S A J D H M
                “S L M?” ucap Klein dan Zidan bersamaan.
                “ada dua lingkaran kecil yang memisah tiga deretan huruf, dari masing-masing deretan huruf terdapat sebuah huruf yang merupakan kata kuncinya. S merupakan huruf kedua yang berarti tanggal lahir kakekmu. L merupakan huruf ke empat yang berarti bulan lahir kakekmu. Dan M merupakan huruf ke tujuh yang berarti angka terakhir tahun lahir kakekmu, jadi ketiga huruf yang menjadi kata kunci adalah S L M” jelas Nadira.
                “aku yakin ini pasti singkatan atau sebuah inisial” Klein berpikir sejenak “Kota! Seperti yang tertera di bawah limas itu” ucapnya kemudian. “Dan, bukankah kamu hafal semua inisial kota-kota di dunia? Coba ingat-ingat, kota atau negara mana yang berinisial SLM” ucap Klein pasti.
                “S L M?” kening Zidan berkerut. Disebelahnya, tiba-tiba Klein  bercahaya, tubuhnya menampakkan bayangan – bayangan sebuah kota yang sedang dipikirkan oleh mereka.  Bayangan itu tampak jelas terpancar dari tubuh Klein, bangunan-bangunan kokoh, sebuah kubah dan juga menara. Nadira dan Zidan sibuk mengamati bayangan Klein. “Yerussalem!” ucap Zidan kemudian. Tiba-tiba cahaya itu redup, terjadi guncangan dahsyat dan seperti ada lingkaran kecil yang mucul di sisi limas yang berkode tadi. Lingkaran itu berputar-putar dan semakin membesar hingga mampu menarik ketiga tubuh remaja-remaja itu. Gelap. Mereka berteriak.
                BRUAK!!!
Klein, Zidan dan Nadira terhempas ke gundukan pasir sesaat setelah teriakan mereka mengaung di sebuah ruang di Larcodiba. Pakaian mereka lusuh, bahkan ta ngan mereka terluka akibat gesekan yang ckup keras dengan ribuan pasir disana.
                “dimana kita?” Nadira menyeletuk sembari memegangi kepalanya.
Mata mereka bertemu dan menyapu sekitar.
                “ini Yerussalem, kota suci tiga agama, YahudiKristen dan Islam. Kota ini diklaim sebagai ibukota Israel, meskipun tidak diakui secara internasional, maupun bagian dari Palestina. Secara de facto kota ini dikuasai oleh Israel. Para elit Israel menganggap kota suci ini adalah bagian dari negaranya dan itu adalah bentuk ideologi "Zionisme". Dari semua negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, hanya Kosta Rika dan El Salvador saja yang menempatkan kedutaan mereka di Yerusalem. Lainnya di Tel Aviv, karena menurut PBB, Yerusalem akan dijadikan Kota Internasional. Oleh orang-orang Palestina, Yerusalem juga dianggap sebagai ibu kota Palestina. Kota historis Yerusalem adalah sebuah warisan dunia yang dilindungi oleh UNESCO sejak tahun 1981. Sepanjang sejarahnya, Yerusalem telah dihancurkan dua kali, dikepung 23 kali, diserang 52 kali, dan dikuasai atau dikuasai ulang 44 kali” Jelas Klein.
Zidan dan Nadira termangu mendengar penjelasan Klein. Diantara mereka bertiga, Klein lah yang pengetahuannya lebih banyak mengenai sejarah negara-negara di dunia. Mereka bertiga mempunyai kemampuannya masing-masing dalam dunia kenegaraan.
***
Inilah kali pertama mereka menginjak tanah Yerussalem, mereka sangat terkagum-kagum, terlebih Klein yang merupakan cucu kandung dari professor Jerenus larcodiba. Entah kenapa, Klein belum pernah menginjakkan kakinya ke negara asal kakeknya itu. Dulu, klein pernah menanyakan hal ini, namun kakeknya hanya menjawab.
                “nanti kamu sendiri yang akan kesana”
Mungkin, inilah arti dari ucapan kakeknya dulu. Sekarang Klein benar-benar berada di Yerussalem, bahkan dengan kedua sahabatnya.

Mereka berjalan menyusuri Kota Lama dan Kubah Shakhrahgedung-gedung bersejarah yang masih tampak kokoh disana, kota sedamai itu kini menjadi salah satu kota yang sangat diburu oleh ilmuan-ilmuan terkenal termasuk kakek Klein – Jerenus Larcodiba. Sesekali Zidan menyentuhkan jemarinya ke dinding-dinding gedung disana, Nadira – disela-sela langkahnya – menyibukkan diri dengan mengamati gerak-gerik orang yang berlalu lalang disana, sedangkan Klein, matanya masih nanar – seperti ada yang ia pikirkan sekarang. Ketiga remaja itu merasakan keanehan dengan sekeliling mereka. Benar saja, bangunan-bangunan itu bergerak mencoba menghimpit mereka. Orang-orang yang tadinya cukup ramai menghiasi setiap sudut kota pun berubah menjadi pasir yang kemudian menjelma sosok-sosok menakutkan. Mereka berlari. Klein mencoba melawan namun sosok itu melebur menjadi pasir kembali. Mereka berlari begitu cepat menghindari gedung-gedung yang runtuh tak beraturan. Namun, sial, kacamata Zidan terjatuh dan membuatnya sedikit samar dengan pandangannya. Nadira yang sangat paham jika Zidan akan sangat sulit melihat jika tanpa kacamatanya segera berlari menghampiri Zidan dan menariknya. Klein menyadari bahwa Nadira sedikit kesulitan, untuk itu – dia yang sebelumnya sibuk melawan makhluk pasir – kini berlari membantu Nadira. Mereka berlari bersamaan hingga keringat membanjiri tubuh mereka. Disaat yang sama, sosok pasir yang menyerbu mereka berkumpul menjadi satu hingga membentuk sebuah sosok yang semakin besar, semakin besar dan berputar – menelan tubuh mereka bertiga.
                BRUAK!!!
Kardus-kardus berdebu itu berhamburan dihempas tiga tubuh remaja yang baru saja menyelesaikan petualangannya. Mereka terengah. Zidan masih samar karena kacamatanya yang hilang. Nadira beringsut sambil memegangi lengan kirinya. Klein bangkit dan mencoba menerawang tentang apa yang sebenarnya terjadi.
                KLIK!
Lampu di ruang sepi dan redup itu menyala begitu terang. Cahayanya 100 kali lebih terang dari sebelumnya, bahkan ruangan itu serasa tak beratap karena terangnya.
***
Derap langkah kaki seseorang memasuki ruangan itu. Langkah yang membuat jantung mereka berdegup. Lelaki itu melemparkan kaca mata kearah Zidan, membuat mereka semakin takut.
                “Karena kenakalan kalian! Kalian dipastikan tidak akan lulus ujian tahun ini!”
Professor Jerenus mengulurkan tangannya dan dengan seketika limas segitiga berwarna cokelat  itu melayang dan kini berada ditangan Professor. Mereka bertiga diam. Rautnya mencoba protes namun tak ada satu katapun yang keluar dari mulut mereka.

Professor berbalik dan meninggalkan mereka dengan kebohongan yang sebenarnya tak pernah Proffesor inginkan. Baginya, kejujuran lebih utama. Ketiga remaja itu menemukan apa yang mereka lakukan di Yerussalem – yaitu kekacauan. Sebenarnya, Professor memang sengaja menciptakan benda itu untuk ketiga murid cerdas di Larcodiba. Namun mereka sendiri yang terperangkap dengan ketidaksabaran itu. Hingga, mereka berhadapan dengan seharusnya yang tidak akan mereka hadapi di Yerussalem. Sikap tegas sang Professor meski ada cucunya diantara ketiga remaja itu.

Klein, Zidan dan Nadira duduk dan semakin lemas. Mereka menyesal.

Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar