Minggu, 25 Maret 2012

Binar Dinar


Karya: Bediar
Batu-batu hitam nan pekat, melamurkan mata ini. Kabut hitam nan tebal, membungkam senyum sang mentari. Takdir kelam nan bersahaja, menghiasi parodi ini. Dalam diamku saat itu, kutorehkan
angan di sela-sela dedaunan lebar terbentang bergelombang dihamparan mata.Sesaat aku terperanjat, kulihat diriku nyata dibalik jernihnya air sungai yang mengalirkan berjuta tanya.
“Inilah aku, dengan kesederhanaanku, dengan aku yang apa adanya, dengan lamuran yang terlihat membahana disetiap titik lukisan di mata ini.
     Andai saja, Allah mengizinkan aku marah kepada-NYA.
     Andai saja, Allah mengizinkan aku tergantung di seutas tali penuh noda.
     Andai, andai dan andai, aku terus berandai-andai”
Kudekati sang mentari, kutatap pasti dalam jernihnya air, kuteriakkan suara hati nan penuh emosi. Pagi itu, hanya aku dan alam menghabiskan waktu, sesekali terlihat ikan-ikan kecil bermain-main lucu di hamparan air. Benar-benar alami. Jeritan hati semakin memburu, mempercepat derasnya air dari mataku. Memoriku sesaat memproyeksikan kejadian dua tahun lalu, pesan terakhir ibu, sesaat setelah ayah menghujam jantung ibu dengan sebilah pisau keji. Kekejian ayah karena pengaruh barang haram yang sangat laknat, yaitu narkoba. Hal itu membuatku semakin membenci narkoba, terlebih pemakainya.

Mencari semangatku yang hilang, itu tujuanku sekarang. Aku harus gigih memburu cita-citaku. Seperti pesan ibu padaku.
     “cita-cita itu tak akan menghampirimu, jika kau tak mencarinya, cita-cita itu tak akan berhenti berlari, sebelum kau menangkapnya. Jadilah kau orang yang penuh dengan kesantunan, berguna bagi orang-orang disekitarmu. Terkadang,
pengorbanan perlu nak, semua pasti ada pengorbanan, ambil jalan terbaik
menurutmu. Bawa senyuman ibu ini, sebagai bekal semangat untukmu”.
Pesan itu yang selalu membahana di fikiranku. Tekatku semakin bulat, setelah dua tahun membungkam diri, aku ingin bersekolah lagi.
Kelam yang masih setia denganku, membidik mata ini tajam memandang hamparan luas ladang cita-cita. Sebenarnya aku ragu untuk melanjutkan sekolah, pasalnya aku hanya seorang anak miskin, aku tinggal di rumah sederhana berluas tiga puluh lima meter persegi, itupun bertuan. Namun, pesan ibu menepis keraguanku. Perlahan tapi pasti, ragaku berpacu dengan waktu, bibir ini tak henti-hentinya meminta sang penguasa untuk mengizinkanku mengais rezeki di tempatnya. Ku harap ada secercah penghidupan yang mampu membakar gelora semangatku lebih jingga.
Sudah sembilan jam aku berkelana, sejak aku pergi pukul tujuh pagi tadi. Hari ini, nihil. Lelah sangat kurasakan. Lapar kudapatkan, ku elus lembut perut keronconganku. Pucat menyelimuti raut wajahku, seketika aku terduduk. Sebenarnya aku tak sudi melakukan ini, sungguh tak terbesit di benakku, namun keadaanlah yang memaksaku untuk melakukan ini, menanti belas kasih sesama, menengadahkan tangan berlumur dosa, di hamparan manusia yang melintas di depan mata. Lumayan, sebungkus roti mampu mengganjal perut mungilku, mungkin bertahan sampai esok.

            Tak banyak yang berubah hari ini, sama seperti kemarin, aku adalah orang yang merugi. Lagi-lagi nihil, lapar kembali meronta, kuambil dompet lusuhku, namun tak kutemukan uang sepeserpun, hanya foto dan kartu pelajar SMAku kala itu. Mataku sayu memandang anak-anak berseragam, ingin rasanya aku seperti mereka. Tapi apa daya, tak banyak yang bisa kuperbuat. Aku hanya bisa mengikuti sketsa ini dengan kegigihan. Berjuang untuk meraih kebahagiaan, berjalan perlahan digaris keadilan ini.
Terik semakin memanggang bumi, memayungi raga berpeluh ini. Dengan segera aku kembali ke gubuk reot yang kusewa seratus ribu per bulan. Ironi yang berkepanjangan membumbung asa yang tak berdasar. Dipersimpangan jalan berbatu, kulihat lelaki berlumur darah menyudut di pos ronda persimpangan itu. Perlahan kudekati lelaki itu, seragam putih abu-abu yang ia kenakan robek akibat sayatan benda tajam. Kutatap tajam sorot matanya, kulirik sebilah pisau dikirinya, kuambil lalu kusodorkan dengan penuh kebingungan dan emosi.
     “siapa yang melakukan ini padamu?” tanyaku tanpa basa-basi.
Bibirnya terbata menjawab pertanyaanku, untuk kemudian langit gelap, kunang berhamburan dimataku, bayangan ibu memenuhi ingatanku, ketika terbangun, aku tak berdaya di sudut ruang pengap berbau anyir. Aku berusaha mengingat peristiwa sekitar satu jam yang lalu, aku ingat ketika aku menyodorkan pisau sembari bertanya kepada lelaki itu, setelah itu puluhan orang datang dan menghakimiku, membabi buta menghujam ragaku.
     “saudara Dinar Genta Maulana, silahkan menuju ruang pemeriksaan” perintah seseorang berpakaian dinas.
Aku hanya terdiam mengikuti alur yang semakin tak jelas muaranya. Berusaha mengubah pahit menjadi manis meski aku tahu aku tak mampu, namun setidaknya aku pernah berusaha, itu yang terpenting dalam hidupku. Aku pernah bermimpi menjadi seorang polisi, meski tak mungkin, namun setidaknya aku pernah berurusan dengan polisi. Aku pernah bermimpi menangkap kawanan pecandu narkoba, meski tak mungkin, namun setidaknya aku pernah menyaksikan kebengisan seorang pecandu narkoba.
     “pembunuh! Kecil-kecil sudah berani membunuh!”
     “Gelandangan tidak tahu diri!”
     “dasar sampah masyarakat”
Kata-kata itu begitu sumbang hingga menyayat kalbuku. Kini aku semakin mengerti, mengapa aku berada ditempat ini. Orang-orang itu menyempurnakan jawaban dari kebingunganku. Sembari kuusap memar diwajahku, aku melangkah gontai menerobos barisan orang yang menghujamku dengan cacian bahkan ludahan.
     “aku tidak bersalah pak! aku hanya bertanya pada lelaki itu!” tuturku penuh pembelaan.
     “terus saja kamu berdalih, semua bukti mengarah kepadamu!” sahut polisi kekar dengan kumis yang hitam lebat.
     “bapak bisa tanyakan kepada lelaki itu!” sahutku.
     “baiklah, tapi dia masih kritis, untuk itu kamu harus menunggu”
Empat hari tak bersua, bergelimang kelam di tempat ini, akhirnya aku dibebaskan. Kesaksian lelaki itu menyelamatkan hidupku. Namanya Putra, siswa SMA yang ternyata dirampok ketika hendak pulang sekolah. Keluarganya begitu menyesal dengan semua ini, hingga memberiku sedikit sinar menuju semua mimpiku.Rona bahagia terpancar dari wajahku, bibir ini bergetar mengiringi mata yang berkaca-kaca haru menatap pasti keluarga itu. Sesaat setelah ayah Putra menawarkanku untuk tinggal bersamanya dan bersekolah bersama Putra.
Dan kini, aku tinggal bersama mereka, hati ini berelu-elu menggoncang-goncangkan jiwaku akan indahnya keluarga. Kehangatan kalbu berbias cahaya illahi nan penuh dengan gejora melirik kekosonganku.

Getir semua kelam merangkak-rangkak di setiap lembar kisahku. Mengajak semua mendung menyelimuti semuanya, namun aku beruntung, sang mentari masih setia bersamaku.
Kini, sang waktu mulai berlari, aku harus bergegas merapikan seluruh pakaian jiwa dan ragaku untuk menyambut impianku. Kini, kami duduk di kelas duabelas ipa satu. Aku dan Putra benar-benar sahabat kini, benar-benar saudara kini, benar-benar berpayung ukhuwah kini. Kami murid tertua di kelas, pasalnya kami sama-sama tidak bersekolah selama dua tahun. Aku karena keluargaku. Dan Putra, entah aku tak tahu karena apa.

Kelam yang kurasa telah pergi, datang tiba-tiba ditengah-tengah kebahagiaan kami. Seperti biasa, aku dan Putra selalu berangkat ke Sekolah bersama, namun pagi itu, kurasakan mentari sinis melihat kami, justru mendung berbinar-binar mengiringi kami. Jalanan yang sedikit berair akibat hujan semalam
membuat kaki ini tak leluasa melangkah, disela-sela perjalanan.
     “Haduh Tra, aku lupa bawa alat peraga yang kita buat kemarin lusa, gimana ya? Mana nanti kita praktik setelah jam Matematika” ucapku sedikit panik.
     “ha?! Serius kamu? Bukannya tadi udah kamu masukin ke tas?” tanya Putra.
     “enggak, aku belum masukin tu alat. Em, ya udahlah, aku ambil ke rumah dulu ya?” sahutku.
     “tapi Din, ini udah siang, kita bisa terlambat” ucap Putra.
     “ah, sudah enggak apa-apa, nggak ada pilihan lain” kataku.
     “jangan-jangan-jangan, kamu duluan aja, biar aku yang ngambil, kamu tunggu dikelas aja, nanti izinin aku ke Pak Reza ya (guru mata pelajaran pertamaku saat itu, matematika)” pinta Putra.
     “Tapi tra?” ucapku.
     “sudahlah! oke?  kamu duluan aja!” sahut Putra melempar senyum padaku.
Langkah kaki putra terdengar memburu memacu waktu, aku pun segera bergegas meninggalkan Putra, namun baru saja aku memalingkan tubuhku, tiba-tiba.
“tiiiiiiiiinnnnn, Bruak!” suara keras itu menggoyahkan kalbuku, kulihat darah yang mengalir beralur disetiap lekuk rautnya. Pemandangan itu benar-benar mengiris hatiku, merobek-robek jiwaku. Bergegas aku mendekati Putra, kugoyang-goyangkan tubuh Putra, senyuman manis sempat terpancar dari rautnya, namun setelah itu tiada. Jeritanku membahana di langit-langit jalan itu, mengundang ratusan pasang mata menghampiri kami.

Rumah Sakit Aisyah menjadi tempat terakhirku bersama Putra, kenangan itu tertutup disana, Putra di vonis dokter mengalami kebutaan, dan dia harus segera dioperasi. Saat itu, Ayah Putra bercerita tentang Putra, tentang dua tahun Putra tidak bersekolah, aku terperanjat mendengar cerita itu. Ternyata, dua tahun itu Putra habiskan di panti rehabilitasi. Ya, dia pecandu narkoba. Sungguh, itu membuatku terkejut, meremas kalbu yang mulai utuh. Benar-benar tak kusangka, ternyata Putra seorang pecandu narkoba.
Dilema menggerutu mengais keping yang berserakan. Kuputuskan untuk meninggalkan Putra, meninggalkannya dalam keadaan tak berdaya. Terlintas pesan ibu dibenakku, “Ambil jalan terbaik menurutmu”, dan ini jalan terbaik menurutku, pergi menjauh dari Putra. Biarlah aku menjadi orang yang egois saat itu.
     “pak, bu, saya rasa, saya harus kembali ke kampung, pasalnya paman saya yang di kampung meminta saya untuk membantunya, jadi nanti kalau Putra sudah siuman, sampaikan maafku untuknya ya pak, buk? Terimaksih atas semuanya, semua yang bapak, ibu dan juga Putra berikan, sekali lagi terimakasih? ” tuturku penuh kemunafikan sembari memberikan sepucuk surat untuk Putra
     “dan tolong berikan suratku ini ketika putra sudah sadar dan bisa melihat lagi” sahutku.
Kulontarkan senyum yang membahana menyelimuti keluarga itu, kulambaikan tangan menyudahi kisah ini.

Hari-hari Putra melewati masa-masa penyembuhannya tanpa Dinar, membuatnya merasa kesepian dan tertekan karena Dinar tak memberi kabar sedikitpun kepadanya dan menghilang tanpa jejak. Melihat keadaan Putra yang seperti itu, kedua orangtuanya merasa iba, dan akhirnya memutuskan untuk memberitahukan surat tersebut kepada Putra, walaupun mereka tahu kalau Dinar meminta mereka untuk memberikan surat itu ketika Putra sudah benar-benar melihat.
     “sebenarnya Dinar meningglakan surat untukmu!” tutur ayah Putra
“surat? Surat apa?” tanya Putra.
“ini surat perpisahan yang ia berikan padamu ketika kau sedang dalam masa perawatan”
“kenapa kalian tidak memberitahuku tentang surat ini sejak awal? Kenapa baru sekarang?”
“karena ini permintaan Dinar sendiri untuk memberikan surat ini setalah kau benar-benar sembuh nak, tetapi melihat kondisimu, ayah tidak tega, maka ayah putuskan untuk memberitahukan surat ini sekarang”
“bacakan, aku ingin tahu isinya!”
Lalu, ayah putra membacakan surat yang diberikan oleh Dinar.
     “selama membaca surat ini, aku ingin kau tetap tersenyum”
   “Assalamu’alaikum sahabatku, aku tahu ini sangat berat bagiku, mungkin juga bagimu, namun aku harus menceritakan ini padamu, persahabatan ini kita awali dengan ketulusan dan keikhlasan, persahabatan yang insyaAllah haqiqi, Aamiin. Maaf Put, aku melakukan ini. Lihatlah wajahmu, tatap kedua matamu, lihat aku disana, aku ada dimatamu. Lihatlah disetiap titik bias di pelupukmu, aku ada disana. Saat itu, dokter memvonismu buta, aku tidak rela, aku tidak mau, aku tidak ingin melihatmu buta, terlebih kau pernah merasakan kejinya narkoba, aku tak sampai hati jika melihatmu buta, merasakan kelammu seperti dulu, akhirnya kuputuskan untuk mendonorkan kornea mataku untukmu. Meski kini kita jauh, namun aku akan tetap bersamamu, mejadi mata bagimu, setiap kali kau rindu persabatan kita, lihat aku dimatamu, maaf Putra aku harus melakukan ini, sekali lagi terimaksih. Biarlah kini kubawa cita-cita sekaligus persahabatan kita pergi bersama secercah senyum yang di bekalkan ibu padaku.
Salam persahabatan dari sahabatmu di baka, Dinar. Wasaalamu’alaikum Putra, sahabatku”.

Kata demi kata di surat itu mencabik-cabik keji hati Putra, pekikan suara membahana di setiap ruang disana, emosinya memuncak, dihantamkannya kepalan tanganke apa saja yang ada dihadapannya, hingga membuatnya terluka, darah yang mengalir deras dijemarinya, membungkam pita yang hendak bersua. Ia terduduk tak berdaya, meratapi semua yang telah terjadi sembari mengais keping kisah yang berhamburan, menyusunnya kembali meski dia tahu itu akan berlangsung lama.

Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar