Karya: Bediar
Batu-batu
hitam nan pekat, melamurkan mata ini. Kabut hitam nan tebal, membungkam senyum
sang mentari. Takdir kelam nan bersahaja, menghiasi parodi ini. Dalam diamku
saat itu, kutorehkan
angan di sela-sela dedaunan lebar terbentang bergelombang dihamparan mata.Sesaat aku terperanjat, kulihat diriku nyata dibalik jernihnya air sungai yang mengalirkan berjuta tanya.
angan di sela-sela dedaunan lebar terbentang bergelombang dihamparan mata.Sesaat aku terperanjat, kulihat diriku nyata dibalik jernihnya air sungai yang mengalirkan berjuta tanya.
“Inilah aku,
dengan kesederhanaanku, dengan aku yang apa adanya, dengan lamuran yang
terlihat membahana disetiap titik lukisan di mata ini.
Andai saja, Allah mengizinkan aku marah
kepada-NYA.
Andai saja, Allah mengizinkan aku
tergantung di seutas tali penuh noda.
Andai, andai dan andai, aku terus
berandai-andai”
Kudekati
sang mentari, kutatap pasti dalam jernihnya air, kuteriakkan suara hati nan
penuh emosi. Pagi itu, hanya aku dan alam menghabiskan waktu, sesekali terlihat
ikan-ikan kecil bermain-main lucu di hamparan air. Benar-benar alami. Jeritan
hati semakin memburu, mempercepat derasnya air dari mataku. Memoriku sesaat
memproyeksikan kejadian dua tahun lalu, pesan terakhir ibu, sesaat setelah ayah
menghujam jantung ibu dengan sebilah pisau keji. Kekejian ayah karena pengaruh
barang haram yang sangat laknat, yaitu narkoba. Hal itu membuatku semakin
membenci narkoba, terlebih pemakainya.
Mencari
semangatku yang hilang, itu tujuanku sekarang. Aku harus gigih memburu
cita-citaku. Seperti pesan ibu padaku.
“cita-cita itu tak akan menghampirimu,
jika kau tak mencarinya, cita-cita itu tak akan berhenti berlari, sebelum kau
menangkapnya. Jadilah kau orang yang penuh dengan kesantunan, berguna bagi
orang-orang disekitarmu. Terkadang,
pengorbanan
perlu nak, semua pasti ada pengorbanan, ambil jalan terbaik
menurutmu. Bawa
senyuman ibu ini, sebagai bekal semangat untukmu”.
Pesan itu yang
selalu membahana di fikiranku. Tekatku semakin bulat, setelah dua tahun
membungkam diri, aku ingin bersekolah lagi.
Kelam
yang masih setia denganku, membidik mata ini tajam memandang hamparan luas ladang
cita-cita. Sebenarnya aku ragu untuk melanjutkan sekolah, pasalnya aku hanya
seorang anak miskin, aku tinggal di rumah sederhana berluas tiga puluh lima
meter persegi, itupun bertuan. Namun, pesan ibu menepis keraguanku. Perlahan
tapi pasti, ragaku berpacu dengan waktu, bibir ini tak henti-hentinya meminta
sang penguasa untuk mengizinkanku mengais rezeki di tempatnya. Ku harap ada
secercah penghidupan yang mampu membakar gelora semangatku lebih jingga.
Sudah
sembilan jam aku berkelana, sejak aku pergi pukul tujuh pagi tadi. Hari ini,
nihil. Lelah sangat kurasakan. Lapar kudapatkan, ku elus lembut perut
keronconganku. Pucat menyelimuti raut wajahku, seketika aku terduduk.
Sebenarnya aku tak sudi melakukan ini, sungguh tak terbesit di benakku, namun
keadaanlah yang memaksaku untuk melakukan ini, menanti belas kasih sesama,
menengadahkan tangan berlumur dosa, di hamparan manusia yang melintas di depan
mata. Lumayan, sebungkus roti mampu mengganjal perut mungilku, mungkin bertahan
sampai esok.
Tak banyak yang berubah hari ini,
sama seperti kemarin, aku adalah orang yang merugi. Lagi-lagi nihil, lapar
kembali meronta, kuambil dompet lusuhku, namun tak kutemukan uang sepeserpun,
hanya foto dan kartu pelajar SMAku kala itu. Mataku sayu memandang anak-anak
berseragam, ingin rasanya aku seperti mereka. Tapi apa daya, tak banyak yang
bisa kuperbuat. Aku hanya bisa mengikuti sketsa
ini dengan kegigihan. Berjuang untuk meraih kebahagiaan, berjalan perlahan
digaris keadilan ini.
Terik
semakin memanggang bumi, memayungi raga berpeluh ini. Dengan segera aku kembali
ke gubuk reot yang kusewa seratus ribu per bulan. Ironi yang berkepanjangan
membumbung asa yang tak berdasar. Dipersimpangan jalan berbatu, kulihat lelaki
berlumur darah menyudut di pos ronda persimpangan itu. Perlahan kudekati lelaki
itu, seragam putih abu-abu yang ia kenakan robek akibat sayatan benda tajam. Kutatap
tajam sorot matanya, kulirik sebilah pisau dikirinya, kuambil lalu kusodorkan
dengan penuh kebingungan dan emosi.
“siapa yang melakukan ini padamu?” tanyaku
tanpa basa-basi.
Bibirnya
terbata menjawab pertanyaanku, untuk kemudian langit gelap, kunang berhamburan
dimataku, bayangan ibu memenuhi ingatanku, ketika terbangun, aku tak berdaya di
sudut ruang pengap berbau anyir. Aku berusaha mengingat peristiwa sekitar satu
jam yang lalu, aku ingat ketika aku menyodorkan pisau sembari bertanya kepada
lelaki itu, setelah itu puluhan orang datang dan menghakimiku, membabi buta
menghujam ragaku.
“saudara Dinar Genta Maulana, silahkan
menuju ruang pemeriksaan” perintah seseorang berpakaian dinas.
Aku hanya
terdiam mengikuti alur yang semakin tak jelas muaranya. Berusaha mengubah pahit
menjadi manis meski aku tahu aku tak mampu, namun setidaknya aku pernah
berusaha, itu yang terpenting dalam hidupku. Aku pernah bermimpi menjadi
seorang polisi, meski tak mungkin, namun setidaknya aku pernah berurusan dengan
polisi. Aku pernah bermimpi menangkap kawanan pecandu narkoba, meski tak
mungkin, namun setidaknya aku pernah menyaksikan kebengisan seorang pecandu
narkoba.
“pembunuh! Kecil-kecil sudah berani
membunuh!”
“Gelandangan tidak tahu diri!”
“dasar sampah masyarakat”
Kata-kata itu
begitu sumbang hingga menyayat kalbuku. Kini aku semakin mengerti, mengapa aku
berada ditempat ini. Orang-orang itu menyempurnakan jawaban dari kebingunganku.
Sembari kuusap memar diwajahku, aku melangkah gontai menerobos barisan orang
yang menghujamku dengan cacian bahkan ludahan.
“aku tidak bersalah pak! aku hanya
bertanya pada lelaki itu!” tuturku penuh pembelaan.
“terus saja kamu berdalih, semua bukti
mengarah kepadamu!” sahut polisi kekar dengan kumis yang hitam lebat.
“bapak bisa tanyakan kepada lelaki itu!”
sahutku.
“baiklah, tapi dia masih kritis, untuk itu
kamu harus menunggu”
Empat
hari tak bersua, bergelimang kelam di tempat ini, akhirnya aku dibebaskan.
Kesaksian lelaki itu menyelamatkan hidupku. Namanya Putra, siswa SMA yang
ternyata dirampok ketika hendak pulang sekolah. Keluarganya begitu menyesal
dengan semua ini, hingga memberiku sedikit sinar menuju semua mimpiku.Rona
bahagia terpancar dari wajahku, bibir ini bergetar mengiringi mata yang
berkaca-kaca haru menatap pasti keluarga itu. Sesaat setelah ayah Putra
menawarkanku untuk tinggal bersamanya dan bersekolah bersama Putra.
Dan kini, aku
tinggal bersama mereka, hati ini berelu-elu menggoncang-goncangkan jiwaku akan
indahnya keluarga. Kehangatan kalbu berbias cahaya illahi nan penuh dengan
gejora melirik kekosonganku.
Getir
semua kelam merangkak-rangkak di setiap lembar kisahku. Mengajak semua mendung
menyelimuti semuanya, namun aku beruntung, sang mentari masih setia bersamaku.
Kini,
sang waktu mulai berlari, aku harus bergegas merapikan seluruh pakaian jiwa dan
ragaku untuk menyambut impianku. Kini, kami duduk di kelas duabelas ipa satu.
Aku dan Putra benar-benar sahabat kini, benar-benar saudara kini, benar-benar berpayung
ukhuwah kini. Kami murid tertua di kelas, pasalnya kami sama-sama tidak bersekolah
selama dua tahun. Aku karena keluargaku. Dan Putra, entah aku tak tahu karena
apa.
Kelam
yang kurasa telah pergi, datang tiba-tiba ditengah-tengah kebahagiaan kami.
Seperti biasa, aku dan Putra selalu berangkat ke Sekolah bersama, namun pagi
itu, kurasakan mentari sinis melihat kami, justru mendung berbinar-binar
mengiringi kami. Jalanan yang sedikit berair akibat hujan semalam
membuat kaki
ini tak leluasa melangkah, disela-sela perjalanan.
“Haduh Tra, aku lupa bawa alat peraga yang
kita buat kemarin lusa, gimana ya? Mana nanti kita praktik setelah jam
Matematika” ucapku sedikit panik.
“ha?! Serius kamu? Bukannya tadi udah kamu
masukin ke tas?” tanya Putra.
“enggak, aku belum masukin tu alat. Em, ya
udahlah, aku ambil ke rumah dulu ya?” sahutku.
“tapi Din, ini udah siang, kita bisa
terlambat” ucap Putra.
“ah, sudah enggak apa-apa, nggak ada
pilihan lain” kataku.
“jangan-jangan-jangan, kamu duluan aja,
biar aku yang ngambil, kamu tunggu dikelas aja, nanti izinin aku ke Pak Reza ya
(guru mata pelajaran pertamaku saat itu, matematika)” pinta Putra.
“Tapi tra?” ucapku.
“sudahlah! oke? kamu duluan aja!” sahut Putra melempar senyum
padaku.
Langkah
kaki putra terdengar memburu memacu waktu, aku pun segera bergegas meninggalkan
Putra, namun baru saja aku memalingkan tubuhku, tiba-tiba.
“tiiiiiiiiinnnnn,
Bruak!” suara keras itu menggoyahkan kalbuku, kulihat darah yang mengalir
beralur disetiap lekuk rautnya. Pemandangan itu benar-benar mengiris hatiku,
merobek-robek jiwaku. Bergegas aku mendekati Putra, kugoyang-goyangkan tubuh
Putra, senyuman manis sempat terpancar dari rautnya, namun setelah itu tiada.
Jeritanku membahana di langit-langit jalan itu, mengundang ratusan pasang mata
menghampiri kami.
Rumah
Sakit Aisyah menjadi tempat terakhirku bersama Putra, kenangan itu tertutup
disana, Putra di vonis dokter mengalami kebutaan, dan dia harus segera
dioperasi. Saat itu, Ayah Putra bercerita tentang Putra, tentang dua tahun
Putra tidak bersekolah, aku terperanjat mendengar cerita itu. Ternyata, dua
tahun itu Putra habiskan di panti rehabilitasi. Ya, dia pecandu narkoba.
Sungguh, itu membuatku terkejut, meremas kalbu yang mulai utuh. Benar-benar tak
kusangka, ternyata Putra seorang pecandu narkoba.
Dilema
menggerutu mengais keping yang berserakan. Kuputuskan untuk meninggalkan Putra,
meninggalkannya dalam keadaan tak berdaya. Terlintas pesan ibu dibenakku,
“Ambil jalan terbaik menurutmu”, dan ini jalan terbaik menurutku, pergi menjauh
dari Putra. Biarlah aku menjadi orang yang egois saat itu.
“pak, bu, saya rasa, saya harus kembali ke
kampung, pasalnya paman saya yang di kampung meminta saya untuk membantunya,
jadi nanti kalau Putra sudah siuman, sampaikan maafku untuknya ya pak, buk?
Terimaksih atas semuanya, semua yang bapak, ibu dan juga Putra berikan, sekali
lagi terimakasih? ” tuturku penuh kemunafikan sembari memberikan sepucuk surat
untuk Putra
“dan tolong berikan suratku ini ketika
putra sudah sadar dan bisa melihat lagi” sahutku.
Kulontarkan
senyum yang membahana menyelimuti keluarga itu, kulambaikan tangan menyudahi
kisah ini.
Hari-hari
Putra melewati masa-masa penyembuhannya tanpa Dinar, membuatnya merasa kesepian
dan tertekan karena Dinar tak memberi kabar sedikitpun kepadanya dan menghilang
tanpa jejak. Melihat keadaan Putra yang seperti itu, kedua orangtuanya merasa
iba, dan akhirnya memutuskan untuk memberitahukan surat tersebut kepada Putra,
walaupun mereka tahu kalau Dinar meminta mereka untuk memberikan surat itu
ketika Putra sudah benar-benar melihat.
“sebenarnya Dinar meningglakan surat
untukmu!” tutur ayah Putra
“surat? Surat
apa?” tanya Putra.
“ini surat
perpisahan yang ia berikan padamu ketika kau sedang dalam masa perawatan”
“kenapa kalian
tidak memberitahuku tentang surat ini sejak awal? Kenapa baru sekarang?”
“karena ini
permintaan Dinar sendiri untuk memberikan surat ini setalah kau benar-benar
sembuh nak, tetapi melihat kondisimu, ayah tidak tega, maka ayah putuskan untuk
memberitahukan surat ini sekarang”
“bacakan, aku
ingin tahu isinya!”
Lalu, ayah
putra membacakan surat yang diberikan oleh Dinar.
“selama membaca surat ini, aku ingin kau
tetap tersenyum”
“Assalamu’alaikum sahabatku, aku tahu ini
sangat berat bagiku, mungkin juga bagimu, namun aku harus menceritakan ini
padamu, persahabatan ini kita awali dengan ketulusan dan keikhlasan,
persahabatan yang insyaAllah haqiqi, Aamiin. Maaf Put, aku melakukan ini.
Lihatlah wajahmu, tatap kedua matamu, lihat aku disana, aku ada dimatamu.
Lihatlah disetiap titik bias di pelupukmu, aku ada disana. Saat itu, dokter
memvonismu buta, aku tidak rela, aku tidak mau, aku tidak ingin melihatmu buta,
terlebih kau pernah merasakan kejinya narkoba, aku tak sampai hati jika
melihatmu buta, merasakan kelammu seperti dulu, akhirnya kuputuskan untuk
mendonorkan kornea mataku untukmu. Meski kini kita jauh, namun aku akan tetap
bersamamu, mejadi mata bagimu, setiap kali kau rindu persabatan kita, lihat aku
dimatamu, maaf Putra aku harus melakukan ini, sekali lagi terimaksih. Biarlah
kini kubawa cita-cita sekaligus persahabatan kita pergi bersama secercah senyum
yang di bekalkan ibu padaku.
Salam
persahabatan dari sahabatmu di baka, Dinar. Wasaalamu’alaikum Putra,
sahabatku”.
Kata
demi kata di surat itu mencabik-cabik keji hati Putra, pekikan suara membahana
di setiap ruang disana, emosinya memuncak, dihantamkannya kepalan tanganke apa
saja yang ada dihadapannya, hingga membuatnya terluka, darah yang mengalir
deras dijemarinya, membungkam pita yang hendak bersua. Ia terduduk tak berdaya,
meratapi semua yang telah terjadi sembari mengais keping kisah yang
berhamburan, menyusunnya kembali meski dia tahu itu akan berlangsung lama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar